Senin, 25 November 2024

Polling: Masyarakat Tak Setuju Dua Usulan Perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR Disahkan Jadi UU

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media terkait setuju atau tidak dua usulan perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR disahkan menjadi Undang Undang? Ilustrasi: Bram suarasurabaya.net

Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada. Pembahasan pada rapat paripurna DPR terdekat untuk disahkan jadi undang-undang.

Kesepakatan sesudah delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada/ Delapan fraksi itu Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP.

Sementara Fraksi PDI Perjuangan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.

Begitu juga pemerintah yang diwakili Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan.

Ada dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada.

Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Pada Pasal 7 ayat (2) huruf e disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada, dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.

Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.

Bagaimana menurut Anda, setuju atau tidak dua usulan perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR disahkan menjadi Undang Undang?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (22/8/2024) pagi, mayoritas masyarakat tidak setuju dua usulan perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR disahkan menjadi Undang Undang.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 82 pendengar (90 persen) yang berpartisipasi menyatakan tidak setuju dua usulan perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR disahkan menjadi Undang Undang. Sedangkan sembilan pendengar (10 persen) lainnya menyatakan setuju.

Kemudian dari data Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 1.279 partisipan (83 persen) menyatakan tidak setuju dua usulan perubahan RUU Pilkada oleh Panja DPR disahkan menjadi Undang Undang. Sedangkan 255 suara (17 persen) menyatakan setuju.

Menyikapi hal itu, M. Syaiful Aris pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menegaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut Syaiful, hal tersebut tertuang di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24C ayat (1).

“Saya berangkat dari apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Sebab Undang-Undang dasar kan sebagai sumber hukum yang mengatur tatanan kehidupan bernegara kita,” tegasnya ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.

Mengacu pada hal itu, Syaiful menegaskan bahwa konstitusi Indonesia sudah jelas mengatakan bahwa konten MK itu bersifat final. Untuk proses pembentukan peraturan perundang undangan, pun sudah ada Undang-Undang yang mengatur hal itu.

“Jadi apa yang dilakukan oleh DPR kemarin, itu sudah jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan,” tegasnya.

Ia kemudian menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (20/8/2024).

“Nah, dua putusan itu cukup jelas. Kemudian ternyata DPR menginterpretasikan sesuai dengan kepentingannya, tidak berdasarkan pada norma hukum yang secara umum berlaku,” tegasnya.

Ia mengatakan, jika sesuai dengan normal yang berlaku, tanpa ada desakan dari rakyat pun seharusnya RUU Pilkada tidak disahkan sebagai undang-undang.

“Seharusnya demikian kalau menurut nalar hukum yang sehat,” sentilnya.

Ia terang-terangan menyebut apa yang terjadi kemarin sebagai contoh yang tidak bagus untuk kehidupan bernegara. Juga menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat

“Akhirnya kalau ada masyarakat yang melanggar hukum, ambil contohnya ke atas. Bahayanya seperti itu,” imbuhnya.

Syaiful menambahkan, apa yang dilakukan oleh DPR RI atas keputusan MK itu, tidak atau belum pernah terjadi di negara lain. Sejauh yang ia tahu, fenomena ini hanya terjadi di Indonesia. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
26o
Kurs