Prabowo Subianto Presiden berencana mengubah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Menanggapi hal itu, Satria Unggul Wicaksana Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menyoroti poin-poin dari wacana tersebut, baik dari statement Prabowo maupun dari pandangan partai atau koalisi pendukung yang saat ini menduduki parlemen.
Pertama, ia memandang bahwa wacana tersebut muncul karena melihat evaluasi dari pelaksanaan Pilkada serentak, baik dari segi biaya yang mahal maupun dari segi efektifitas, sehingga ada kesimpulan bahwa Pilkada memberikan efek yang cukup boros.
“Khawatirnya ide ini berangkat dari Pak Prabowo tidak sebagai Presiden tapi sebagai ketua partai yang kemudian kalah di beberapa daerah kunci, salah satunya di DKI daerah khusus Jakarta,” katanya pada Selasa (17/12/2024).
Kedua, ia menelisik apa yang dicontohkan oleh Prabowo, yakni Malaysia, India hingga Singapura yang merupakan negara-negara parlementer, di mana kekuasaan parlemen jauh lebih tinggi untuk memilih perdana menteri. Menurutnya, negera tersebut berbeda dengan Indonesia.
“Tentu ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia dalam konteks demokrasi lokal maupun dalam konteks Pilpres,” tegasnya.
Sehingga menurutnya, perbandingan tersebut tidak apple to apple. Ia juga menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah adalah akses dari reformasi atau dampak dari desentralisasi kekuasaan maupun otonomi daerah yang menjadi nilai yang dihasilkan pada era pasca reformasi.
“Artinya bahwa pasca reformasi ini penting untuk memberikan hak seluas-luasnya bagi masyarakat atau konstituen untuk memilih calon yang baik dan benar,” ujarnya.
Ia menegaskan, wacana tersebut harus dicermati terlebih dahulu, agar ide tersebut tidak untuk memenuhi kepuasan atau satisfication dari aktor politik tertentu, tapi betul-betul berangkat dari sejauh mana ide tersebut baik atau tidak baik bagi masyarakat, diterima atau tidak oleh masyarakat hingga konstituen.
“Maka perlu analisis yang mendalam untuk memahami hal tersebut,” pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyatakan bahwa di Indonesia masih ada persoalan yang harus diperbaiki, seperti money politics hingga jual beli rekomendasi yang menjadi satu masalah serius ke depannya.
“Misalkan musuhnya adalah kotak kosong, itu semua karena perilaku elit politik yang berkontestasi di 550 kabupaten Kota dan Provinsi menggunakan cara-cara yang tidak tepat dan itu justru menjadi pembunuh demokrasi,” ucapnya.
Seperti diketahui, Pilkada melalui wakil rakyat bukanlah suatu kebijakan baru di Indonesia. Sistem pemilihan tersebut pernah diterapkan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.(ris/iss)