Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menyatakan bahwa demokrasi Indonesia saat ini sedang dalam pembajakan.
Hal itu ia ungkapkan, setelah ada agenda dari partai-partai politik yang enggan menggunakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batasan Pilkada.
“Sekali lagi, ini adalah bagian dari proses pembajakan demokrasi yang kemudian tidak adanya keberpihakan dari parlemen kita untuk mendorong sistem, atau pelaksanaan Pilkada itu berjalan dengan terbuka, tanpa memandang threshold, kemudian presentase dari dukungan partai, yang itu memberi akses kepada semua pihak,” katanya kepada suarasurabaya.net pada Rabu (21/8/2024).
Padahal menurutnya, putusan MK yang tertanggal 20 Agustus 2024 menjadi oase di tengah situasi demokrasi yang menurutnya, dalam tanda kutip tersandera, akibat dukungan koalisi dalam mendorong calon kepala daerah.
“Saya rasa, sepanjang dipilih oleh rakyat, tanpa ada presentase dukungan, atau menurunkan dari 20 persen menjadi hanya di bawah 10 ini menjadi berita yang baik,” tuturnya.
Tetapi, kata dia, sangat disayangkan karena hal itu tidak digubris oleh DPR dan kemudian melakukan revisi perubahan UU Pilkada yang menjadi objek materiil dari gugatan tersebut.
“Dan itu dilakukan sangat cepat ya, dalam hitungan jam,” ucapnya.
Hal semacam itu, tegas Satria, harus menjadi sinyal untuk masyarakat sipil agar terus bersuara dalam mengawal demokrasi, agar tidak melenceng.
“Bahwa proses-proses pembajakan demokrasi semacam ini tidak boleh terus terjadi,” tegasnya.
Di media sosial sendiri, hal tersebut sudah viral karena masyarakat kecewa. Kekesalan itu diungkapkan melalui berbagai postingan di X (dulu twitter) hingga instagram dengan memposting lambang Garuda biru dengan berbagai cuitan kecewa.
“Sebenarnya, lambang Garuda biru itu adalah simbol dari kekesalan masyarakat sipil terhadap pembajakan demokrasi itu. Gerakan digital itu, menjadi pilihan untuk menggerakkan apatisme masyarakat, khususnya dunia kampus, mahasiswa dan lain sebagainya, yang selama ini, terjadi polarisasi di dalamnya,” bebernya.
Kekecewaan yang diungkapkan di media sosial itu, kata dia, bisa mendorong berbagai macam gerakan lanjutkan untuk memastikan demokrasi berjalan sesuai dengan arahnya.
“Sekali lagi, dia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang terbuka, jujur, luber jurdil seperti itu,” pungkasnya.(ris/ipg)