Hasil quick count yang dikeluarkan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang golput dalam Pilkada 2024.
Angka golput di Jakarta mencapai 42.07 persen, di Jawa Barat sebanyak 33,66 persen, Jawa Timur sebesar 30,15 persen, dan Jawa Tengah sebesar 26,44 persen.
Samsul Arifin dosen hukum Universitas Muhamamdiyah (UM) Surabaya mengatakan, meski Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, tingkat partisipasi pemilih masih menjadi tantangan.
“Tingginya angka golput dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kepercayaan terhadap proses politik, kendala teknis dalam pemungutan suara, hingga kurangnya informasi yang diterima oleh pemilih terkait pentingnya partisipasi dalam pemilu,” katanya Minggu (1/12/2024).
Ari mengatakan, sebagian masyarakat cenderung bersikap skeptis, bukan terhadap para calon yang berkontestasi dalam Pemilu, tetapi terhadap proses pemilihannya, yang menurutnya kerap dianggap jauh dari nilai-nilai kejujuran, transparansi dan integritas.
“Dalam pandangan mereka, berbagai dugaan kecurangan, manipulasi, dan ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu telah menciptakan persepsi negatif yang mendalam,” ujarnya.
Pandangan tersebut, kata dia, mencerminkan ketidakpercayaan yang signifikan terhadap sistem demokrasi, yang mana idealnya suara rakyat menjadi penentu utama.
“Ketidakpercayaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya keterbukaan dalam proses penghitungan suara, isu-isu terkait politik uang, atau intervensi kekuatan tertentu yang dianggap merusak independensi pemilu,” jelasnya.
Salah satu faktor utama yang memperparah rendahnya partisipasi pemilih, tegas dia, yakni praktik politik uang. Menurutnya, fenomena itu telah menjadi masalah yang sulit untuk diatasi karena telah mengakar dalam budaya politik di berbagai daerah di Indonesia.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa politik uang tidak hanya menciptakan ketergantungan, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi, karena seharusnya suara rakyat murni dan bebas dari pengaruh materi.
Kondisi tersebut, membuat masyarakat enggan datang ke TPS jika tidak ada iming-iming uang atau hadiah tertentu. Saat ini, sebagian masyarakat menurutnya mulai merasa bahwa partisipasinya tidak berarti tanpa adanya kompensasi langsung.
“Sebuah mentalitas yang secara tidak langsung dibentuk oleh kebiasaan buruk para aktor politik yang menggunakan uang sebagai alat untuk membeli suara. Suara rakyat yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi justru tereduksi menjadi sekadar komoditas yang bisa diperjualbelikan” tegasnya.
Ia mengaku prihatin dengan fenomena tersebut, karena ke depan bisa membuat partisipasi publik dalam berpolitik menurun. Oleh karena itu, ia menegaskan, perlu evaluasi secara menyeluruh, baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu maupun pendekatan sosialisasi kepada masyarakat.
“Agar tingkat partisipasi pemilih di masa mendatang dapat meningkat secara signifikan,” pungkasnya. (ris/kir/ham)