Jumat, 22 November 2024

Konsumsi dan Transport Bimtek Banyak Dikeluhkan KPPS, DEEP Indonesia: Memang Rentan Dikorupsi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi uang dalam amplop. Foto: iStock

Jelang hari pencoblosan pemilihan umum (pemilu) 2024 pada 14 Februari mendatang, media sosial digaduhkan dengan keluhan para anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terkait fasilitas pelantikan dan bimbingan teknis (bimtek).

Keluhan-keluhan itu disampaikan di beberapa daerah, salah satunya seperti di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Konsumsi yang disediakan untuk pelantikan hanya sebatas satu roti, snack dan satu air mineral gelas yang jika dinominalkan hanya Rp2.500. Padahal, anggaran untuk konsumsi per orang Rp15 ribu, sehingga ada dugaan anggaran itu disunat.

Pihak KPU setempat kemudian meminta maaf dan mengklarifikasi, kalau hal tersebut disebabkan vendor penyedia konsumsi yang secara sepihak melakukan pemotongan. Alasan vendor itu, supaya bisa menjangkau kebutuhan seluruh anggota KPPS, karena dana dari KPU setempat tidak cukup.

Selain masalah konsumsi, ada juga keluhan dari anggota KPPS di daerah-daerah lain soal uang transportasi bimtek KPPS. Baik yang tak kunjung dapat, maupun yang anggarannya diduga disunat dari yang seharusnya Rp200 ribu menjadi Rp25 ribu.

Menanggapi hal ini, Neni Nur Hayati Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia waktu dihubungi mengatakan, permasalahan-permasalahan seperti ini harusnya bisa diantisipasi.

Namun, Neni menyebut dengan banyaknya anggota KPPS yang dilantik bersamaan dalam satu hari, disusul pelaksanaan bimtek pada keesokan harinya, berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran atau dikorupsi.

“Ini memang berpotensi pada penyalahgunaan anggaran itu. Apalagi misalnya berkaitan dengan konsumsi, yang itu kemudian tidak secara transparan dan akuntabel juga,” ujar Direktur DEEP itu waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya FM 100, Senin (29/1/2024).

Demikian terkait uang transportasi, menurut Neni setiap daerah memang ada perbedaan nominal. Meski begitu, dia menekankan harus ada transparansi dan akuntabilitas kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun KPPS.

“Publik itu pada akhirnya bisa tahu berkaitan dengan transparansi anggaran. Karena ini sebetulnya rentan dikorupsi, kalaupun tidak dengan komisionernya, bisa sekretariatnya. Karena kalau sudah ada perilaku yang tidak jujur memang sulit, kan lumayan ya untuk nyunat dari KPPS karena jumlahnya ribuan,” terang Neni.

Neni juga mengakui, pihaknya melihat ada indikasi penyalahgunaan anggaran, tidak hanya untuk konsumsi dan transportasi KPPS, namun juga pencetakan alat peraga kampanye yang difasilitasi KPU hingga logistik surat suara.

“Karena itu menjadi ruang gelap sih, yang kita juga masyarakat civil society (sipil/awam) tidak bisa masuk di situ,” kata Neni yang juga Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah itu.

Untuk itu DEEP Indonesia, lanjut Neni, mendorong keterbukaan mulai dari tingkatan KPPS yang dinilai posisinya sangat krusial. Transparansi bukan hanya soal konsumsi dan biaya transportasi, melainkan soal akurasi proses penghitungan suara sebelum ditetapkan untuk direkapitulasi.

Kalau tidak kunjung ada keterbukaan sehingga mengakibatkan masalah baru, Neni mengatakan bisa berimplikasi serius terhadap proses legitimasi penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung.

“Kalau kemudian itu informasinya untuk publik, saya kira jelaskan untuk menyampaikan itu, agar publik kita menjadi tidak ada kecurigaan. Sebenarnya kan keterbukaan informasi itu bukan karena kita curiga, tapi ini untuk membangun trust (kepercayaan), baik itu dengan sesama penyelenggara pemilu ataupun dengan masyarakat itu sendiri,” pungkasnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs