Eep Saefulloh Fatah, pendiri sekaligus pemimpin di PolMark Research Centre menilai Pilpres 2024 ini merupakan pemilihan presiden paling kejam sepanjang sejarah reformasi. Menurut dia, Joko Widodo (Jokowi) Presiden telah tanpa malu menunjukkan keberpihakannya sebagai kepala negara.
“Beberapa hal umum yang pertama saya menyaksikan Pak Jokowi ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi. Ini kesimpulan yang pertama. Saya bisa salah, tetapi sejauh ini itulah kesimpulan yang tepat yang bisa saya rumuskan,” kata Eep itu dalam acara Ngobrolin People Power 14 Februari 2024 Bersama Masyarakat Jurdil di TPS yang diselenggarakan Santri Spartan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).
Eep menyadari Jokowi memang di setiap pesta demokrasi, yakni di Pilkada Solo 2005 dan 2010 di mana di tahun tersebut menang fenomenal 90,1 persen raihan suaranya.
Lalu di Pilgub Jakarta 2012, Pilpres 2014 serta 2019. Jokowi bahkan hampir melanjutkan kepemimpinan dengan masifnya wacana tiga periode, tetapi gagal.
“Kesimpulan yang kedua, sepanjang sejarah reformasi terutama sejak pilpres langsung 2004, di 2024 pertama kali kita menyaksikan presiden cawe-cawe dengan amat sangat jauh. Saya tidak perlu berdebat tentang ini karena Pak Jokowi sudah mengakui. Kesimpulan kedua, ada keterlibatan presiden yang sangat jauh,” jelas Eep.
Eep menilai seharusnya Pilpres 2024 ini mengulang peristiwa 2014, di mana pemilihan tidak ada petahana. Namun kalau ini cerita agak berbeda, tidak ada petahana, tetapi dengan keterlibatan incumbent yang tegas.
“Ketika ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi berjalan ada yang salah dengan sistem, mekanisme, aturan insitusi politik yang kita miliki. Ini harus dibenahi,” jelas Eep.
Dia menyampaikan demokrasi yang sudah matang salah satu cirinya ketika semua orang mengakui dan menjalani aturan yang berjalan.
Karena itu, penting bagi negara ini untuk memperketat aturan. Menurut dia, gagasan yang sudah berkembang antara lain disampaikan Peneliti Hukum Tata Negara Indonesia Zainal Arifin Mochtar bahwa Indonesia harus punya UU mengatur lembaga kepresidenan yang membatasi kekuasaan presiden pada masa krusial.
“Kalau tidak dibatasi, presiden yang sedang berkuasa untuk menang yang kedua kali. Ternyata presiden yang sudah tidak bisa dipilih lagi bisa melabrak banyak aturan kemudian membahayakan kesehatan pemilu dan demokrasi. Maka harus ada pembatasan kekuasaan presiden,” jelasnya.
Dia menjelaskan banyak sekali ilustrasi yang menunjukkan Jokowi telah blunder. Terakhir, kata dia, ketika Jokowi membuat pernyataan boleh, presiden dan menteri berpihak dan berkampanye, selama tidak menggunakan fasilitas negara.
“Jokowi, presiden, dan kepala negara itu tiga entitas yang tidak bisa dipisah dengan gampang. Ketika caleg memasang foto Jokowi, maka harus cuti karena kalau ada foto di baliho yang bersangkutan berpihak. Ketika berpihak berlaku aturan yang membatasinya. Ketika tidak cuti, terlanggarlah aturan itu,” terang Eep.
Menurut dia, Indonesia kini memiliki Presiden Jokowi yang sangat menantang di ujung pemerintahannya. Dia menambahkan Jokowi menantang orang untuk berpikir waras untuk punya keberanian melawan ketika kekuasaan yang pongah dan kuatnya itu ada dan konkret.
“Pilpres ini adalah pilpres yang paling brutal sepanjang sejarah reformasi,” tegas Eep.(faz/iss)