Akademisi berharap fenomena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan calon tunggal atau lawan kotak kosong sudah tidak terjadi lagi di pemilihan selanjutnya.
Kacung Marijan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) yang juga Wakil Rektor I Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), menekankan pentingnya kompetisi calon kepala daerah antar pasangan dengan pasangan dalam Pilkada, bukan dengan kotak kosong.
“Tadi saya usulkan (agar tidak ada lagi kotak kosong), ambang batas (threshold) harusnya ditiadakan, sehingga sejak awal orang itu mulai berkompetisi,” katanya dalam diskusi publik bertajuk “Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data” di Gedung Kuliah Bersama, UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Senin (25/11/2024).
Kacung mengatakan, fenomena kotak kosong bisa terjadi karena beberapa hal, seperti adanya dorongan secara kelembagaan untuk mengarah ke kotak kosong melalui ambang batas.
“Ini juga didorong oleh personalisasi dari Pilkada, termasuk pencalonan, adanya sosok yang kuat, sehingga orang itu berpandangan, siapa pun yang akan lawan tidak akan jadi. Makanya kartelisasi itu mendapatkan pembenaran, karena personalisasi politik tadi,” jelasnya.
Tanpa ambang batas, kata dia, pemilihan ke depan bisa berlangsung dengan penuh kompetisi, karena bukan hanya incumbent yang bisa mempersiapkan diri untuk kembali maju dalam Pilkada, tetapi juga partai atau calon lain.
“Biar fair dan kompetisi itu ada, ya sejak awal dibuka seluas-luasnya bagi partai-partai untuk dapat mencalonkan diri,” ucapnya.
Sementara itu, Catur Suratnoaji Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN Veteran Jawa Timur, mengatakan bahwa kotak kosong seperti hantu, yakni wujudnya tidak nampak jelas dan perlawanannya juga tidak berimbang.
“Kalau manusia dibandingkan dengan sesuatu yang tanpa wujud, itu jelas nggak fair. Sehingga saya setuju kalau ambang batas itu diturunkan atau ditiadakan,” katanya.
Secara politik, lanjut dia, kotak kosong juga seperti kelompok termarjinalkan, yang secara kekuatan politik dan ekonomi lemah.
Seperti diketahui, diskusi publik tersebut diadakan oleh Pusat Kajian Transformasi Masyarakat dan Budaya Digital, FISIP UPN Veteran Jatim. Dalam diskusi tersebut, selain diisi oleh pembicara dari UPN Veteran Jatim, Unair, dan Unusa, juga ada dari Universitas Brawijaya. (ris/saf/ipg)