Alexander Marwata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai miliaran Rupiah yang dikeluarkan seseorang untuk mengikuti pemilihan umum (Pemilu), mengakibatkan proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis. Hal inilah yang memicu terjadinya korupsi.
“Kenapa banyak kepala daerah yang terjerat korupsi? Karena biaya politik kita yang sangat mahal,” terangnya dilansir Antara pada Senin (3/7/2023) sore.
Menurut Alexander Marwata, mahalnya biaya politik membuat banyak kepala daerah usai terpilih justru terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp20-30 miliar.
Kendati demikian, lanjut Alexander, jumlah biaya politik itu belum tentu membuat para calon kepala daerah bisa memenangkan kontestasi politik. Ia mengatakan para calon pemimpin itu harus merogoh kocek hingga Rp50 miliar hingga Rp70 miliar.
Apabila daerah yang akan dipimpinnya kaya akan sumber daya alam (SDA), maka biaya politik yang dikeluarkan lebih besar lagi.
“Kalau mau menang, harus dilipatgandakan Rp50 miliar hingga Rp70 miliar. Tergantung daerah, apakah daerah kaya akan sumber daya alam, akan lebih tinggi lagi,” jelasnya.
Alexander menjelaskan dari survei yang dilakukan KPK dan Kemendagri, tidak semua biaya berasal dari kandidat calon kepala daerah. Ada juga yang berasal dari sponsor yang rata-rata merupakan pengusaha setempat.
Berdasarkan hasil survei KPK, biaya yang dikucurkan tidak diberikan secara cuma-cuma. “Harapan mereka kalau calon yang didukung menang, setidaknya nanti kalau ikut lelang proyek itu dipermudah,” ungkap Alexander.
Melihat realitas ini, Alexander mengaku tak heran apabila terjadi permasalahan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa maupun pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai harapan.
Pasalnya, ada utang politik yang harus dibayar kepada sponsor yang sudah mendukung selama pemilihan kepala daerah (Pilkada). (ant/saf/iss)