Firman Soebagyo Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menentang ketentuan zat adiktif dikategorikan sebagai narkotika di dalam draf RUU Kesehatan.
Menurut Firman, semangat pembahasan RUU Kesehatan sejatinya adalah perbaikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Dia menjelaskan, DPR melalui Badan Legislasi tidak pernah memasukkan norma atau pasal zat adiktif disetarakan dengan narkotika. Sehingga, industri rokok elektrik (vape) tidak perlu risau.
“Kami tidak melarang industri rokok vape. Tapi, yang kami cermati, yang kami akan awasi, minta kepada pemerintah melalui BPOM bahan bakunya. Kalau dibuat murni dari tembakau kami setuju,” ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk ‘Mengkaji Lebih Dalam Zat Adiktif di RUU Kesehatan’, Kamis (25/5/23), di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta.
Indonesia, sambung Firman, termasuk salah satu penghasil tembakau yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lalu, legisator Partai Golkar itu mengingatkan jangan sampai likuid rokok elektrik menjadi pintu masuk pengedar narkoba merusak anak bangsa.
“Perlu ada regulasi yang mengatur dan mengawasi karena tentang regulasi dan pengawasan adalah kewajiban DPR,” tegasnya.
Sementara itu, Aryo Andrianto Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menerangkan, dari 6 juta pengguna rokok elektrik (vape), hanya segelintir yang terlibat dalam penggunaan narkoba. Artinya, penyelewengannya sangat minim.
Terkait penindakan kepolisian terhadap pencampuran likuid dengan Sabu yang terungkap Januari 2023 lalu di Jakarta Barat, APVI juga menaruh perhatian serius.
“Kami dari asosiasi, seluruh stakeholder juga sangat memperhatikan. Makanya kami juga membuat kampanye Stop Vape Ilegal, termasuk membuka pengaduan likuid vape campur narkoba, yang ilegal, tanpa cukai semua kami lakukan,” katanya.(rid)