Saldi Isra Hakim Konstitusi mengatakan ada peristiwa aneh dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang gugatan batas usia bakal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang diatur Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pernyataan itu dia sampaikan waktu membacakan perbedaan pendapat (dissenting opinion), dalam sidang yang berlangsung sore hari ini, Senin (16/10/2023), di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
“Berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” ucapnya.
Peristiwa aneh itu, kata Saldi, saat MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam waktu singkat.
Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023 yang diputuskan ditolak pada pagi hari, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang para pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
Tapi, pada keputusan yang baru, MK mengabulkan Warga Negara Indonesia yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres kalau sudah punya pengalaman menjadi kepala daerah.
“Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” ucap Saldi.
MK, lanjut Saldi, memang pernah berubah pendirian. Tapi, perubahan tidak pernah terjadi secepat yang terjadi sekarang
Perubahan itu pun bukan sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya. Tapi, didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat hingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak. Sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” tanya Saldi.
Sebelumnya, MK menolak tiga permohonan uji materi aturan yang sama yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.
Alasannya, kalau MK mengabulkan gugatan uji materi untuk menurunkan syarat batas usia minimum capres-cawapres menjadi 35 tahun, justru merupakan sebuah pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi.
Itu juga akan membuat situasi yang tidak adil bagi warga negara yang sudah mempunyai hak pilih dan dipilih, genap berusia 17 tahun, sudah kawin atau pernah kawin.
Dalam putusan itu disebutkan, penentuan usia minimum capres-cawapres adalah ranah para pembentuk undang-undang. MK juga menyatakan tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi capres maupun cawapres karena terbuka kemungkinan bakal terjadi dinamika di masa mendatang.
“Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Saldi Isra dalam pertimbangan hukumnya.
Sekadar informasi, perkara yang terdaftar dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan Almas Tsaqibbirru seorang mahasiswa Universitas Negeri Surakarta.
Dalam petitumnya, Almas melalui kuasa hukumnya meminta MK mengubah batas usia minimal bakal capres-cawapres menjadi 40 tahun, atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi mau pun kabupaten/kota.
Selaku pemohon, Almas sempat menyatakan diri sebagai pengagum Gibran Rakabuming Raka putra sulung Joko Widodo Presiden yang sekarang masih menjabat Wali Kota Solo.
Dengan putusan MK itu, Gibran yang baru berusia 36 tahun bisa menjadi capres atau cawapres pada Pilpres 2024, karena sudah menjadi kepala daerah terhitung mulai 26 Februari 2021.(rid/ipg)