Jumat, 22 November 2024

Pertemuan Putin dan Kim Jon Un Jadi Alarm Negara-Negara Rival

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Kim Jong Un pemimpin Korea Utara (kiri) saat bertemu Vladimir Putin (Presiden Rusia), Rabu (13/9/2023). Foto: Reuters

Para analis mengatakan apapun kerja sama praktis yang muncul dari pertemuan puncak Vladimir Putin dengan Kim Jong Un pemimpin Korea Utara pekan ini, akan menjadi alarm atau peringatan kepada negara-negara lawan mereka.

Melansir Reuters, Jumat (15/9/2023), dalam pertemuan kedua pemimpin itu diketahui telah bersulang demi persahabatan bahkan saling memanggil satu sama lain dengan sebutan kamerad, yang berarti rekan.

Pada pertemuan Rabu (13/9/2023) lalu itu, Putin diketahui juga mengajak Kim mengelilingi fasilitas peluncuran ruang angkasa paling modern di Rusia, di mana mereka juga menggelar pembicaraan bersama dengan menteri pertahanan masing-masing negara.

Duyeon Kim, analis dari Center for a New American Security mengatakan, keduanya punya kepentingan memamerkan  meski terisolasi secara geopolitik, tetap punya mitra untuk diajak bicara.

Selain itu, keduanya berupaya melemahkan sanksi dan tekanan internasional pimpinan AS, terhadap Rusia akibat perang di Ukraina dan terhadap Korea Utara akibat program senjata nuklir dan peluru kendalinya.

“Putin dan Kim sama-sama akan memetik keuntungan dari tawar-menawar transaksional, namun mereka juga akan mendapatkan keuntungan secara geopolitik dengan memberikan kesan bahwa kedua negara bersenjata nuklir ini bekerja sama secara militer dan mengirimkan peringatan mengenai akibat yang bisa muncul terhadap para sekutu dan mitra Amerika yang memiliki pemikiran yang sama yang mendukung Ukraina,” kata Duyeon Kim dilansir Reuters,

“Kim juga mengirimkan isyarat kepada Washington, Seoul dan Tokyo bahwa Rusia mendukungnya di Asia Timur Laut,” tambahnya.

Baik Rusia maupun Korea Utara membantah klaim AS bahwa mereka berencana saling memberikan senjata. Namun, para pemimpin berjanji memperdalam kerja sama pertahanan. Putin juga menyatakan bahwa Rusia akan membantu Korea Utara dalam membuat satelit.

Leif-Eric Easley seorang Profesor Ewha University di Seoul menyebut, kalau keduanya hanya menginginkan kesepakatan pertukaran senjata secara diam-diam, maka tidak perlu sampai bertemu langsung.

“Atraksi diplomatik Putin dan Kim ditujukan untuk mengklaim keberhasilan dalam menggugat tatanan internasional pimpinan AS, menghindari ketergantungan yang berlebihan kepada China, dan memperbesar tekanan terhadap lawan-lawan mereka di Ukraina dan Korea Selatan,” kata dia.

Sementara kata Andrei Lankov, pakar Korea pada Kookmin University di Seoul, pembahasan mengenai pelanggaran resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Korea Utara yang dilakukan secara terang-terangan, menunjukkan lumpuhnya lembaga-lembaga internasional utama,

Pertemuan Kim dan Putin ini adalah indikator bahwa resolusi Dewan Keamanan terkait Korea Utara telah gagal, begitu juga semua upaya menghentikan Korea Utara atau menghukum negara itu akibat memiliki program nuklir, kata dia.

“Ini menciptakan preseden penting yang kemungkinan akan dipakai tidak hanya oleh Rusia tetapi juga oleh hampir semua pemain internasional bahwa jika Anda tidak menyukai resolusi Dewan Keamanan PBB, maka abaikan saja,” kata Lankov.

Lankov juga mengatakan Rusia kemungkinan besar tidak akan memberi kan teknologi canggih kepada Korea Utara karena ini bisa membuat negara itu menjadi lepas kendali.

“Namun isyarat besarnya dalam kerja sama pertahanan, membuat mereka mengirimkan pesan keras kepada Korea Selatan agar tidak secara langsung memberikan bantuan militer kepada Ukraina,” kata dia.

Meskipun ditekan Kiev dan Washington, Korea Selatan hanya memberikan bantuan tidak mematikan kepada Ukraina, dengan menjual senjata dalam jumlah besar ke Polandia yang bertetangga dengan Ukraina, dan menyediakan peluru artileri kepada Amerika Serikat untuk mengisi cadangan senjata yang semakin menipis.

Korea Selatan sendiri sudah menegaskan tidak berencana memberikan bantuan mematikan kepada Ukraina.

Mason Richey, profesor pada Hankuk University of Foreign Studies di Seoul menambahkan, jika Rusia, Korea Utara, dan China merasa terancam, masuk akal jika mereka menjadi berusaha saling membantu melalui kemitraan atau bahkan aliansi melawan Amerika Serikat.

Namun ketiga negara mempunyai riwayat terbatas dalam mewujudkan hubungan semacam itu, kata

“Sulit bayi saya membayangkan Xi Jinping, Kim Jong Un, dan Vladimir Putin bisa percaya satu sama lain guna membangun aliansi bersama dalam jangka panjang. Mungkin bisa demi kepentingan mereka, tapi sulit bagi para diktator bisa bekerja sama satu sama lain,” kata dia. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs