Jumat, 22 November 2024

Pengamat Politik Unair Prediksi MK Tolak Gugatan soal Batasan Maju Capres

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi Pemilihan Presiden 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Setelah batas usia, kali ini Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk mengatur batas maksimal seorang yang mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dan wakil presiden. Jadi, seseorang yang sudah dua kali gagal di bursa calon presiden dan wakil presiden, seharusnya tidak dapat lagi maju kembali di dalam Pemilihan Umum (Pemilu) berikutnya.

Dilansir dari Kompas, permohonan ini diajukan oleh Gulfino Guevarrato asal Garut, Jawa Barat (Jabar). Ia menyoal ketentuan Pasal 169 Huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Sidang perdana perkara ini digelar Senin (18/9/2023) lalu dan dipimpin oleh Suhartoyo Hakim Konstitusi.

“Sekarang sedang mulai musim politik. Jadi bisa dimaklumi, sebab mau mengarah ke konstelasi politik terbesar di Indoinesia, bahkan di dunia,” kata Ucu Martanto pengamat politik Universitas Airlangga dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (20/9/2023) pagi.

“Yang harus dicermati adalah konten dalam gugatan tersebut. Jika gugatan itu penuh muatan kepentingan politik sesaat, ini yang harus dikritisi, bahkan ditolak,” imbuh Ucu yang saat ini tengah menempuh program doktor di University of Melbourne, Australia.

Selain menguji Pasal 169 huruf N UU Pemilu, Gulfino juga menguji batas maksimal usia calon presiden dan wakil presiden yang tidak diatur di dalam UU Pemilu. MK diminta untuk mengubah ketentuan minimal jadi 21 tahun dan menambahkan aturan usia maksimal calon menjadi 65 tahun.

“Untuk batas minimal calon presiden, kita memahaminya sebagai pembatasan. Saya yakin angka 40 tahun itu sudah memikirkan seberapa baik pengalaman, kedewasaan, dan kenegarawanan. Tapi jika ada gugatan untuk memperkecil menjadi 35 tahun, harus ada alasan yang cukup kuat yang harus disertakan,” jabarnya.

“Batasan usia maksimal juga harus ada pertimbangan. Sebab ini cenderung membatasi atau menolak salah satu calon yang usianya lebih dari 65 tahun,” sambungnya.

Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) ini mengingatkan bahwa setiap warga punya hak politik untuk menjadi presiden dan atau wakil presiden. Namun dalam konstitusi, mereka harus menggunakan kendaraan bernama partai politik.

“Jadi, persoalannya bukan pada berapa kali ia mencalonkan diri, tapi ke partai politik yang tidak punya cukup banyak kader yang bisa dicalonkan sebagai presiden,” terangnya.

Ucu menilai hal ini karena sejumlah partai politik di Indonesia seakan dikuasai atau bahkan dimiliki oleh elite politik tertentu. Misalnya Partai Demokrat di mana keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) begitu dominan. Juga Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto. Serta PDI Perjuangan dengan Megawati Soekarnoputri yang begitu berkuasa.

“Kalau mereka mencalonkan diri sebagai presiden, mau tidak mau partai akan menyetujuinya,” bilang Ucu.

Oleh sebab itu, ia berharap partai politik di Indonesia mereformasi diri terkait pendidikan politik dan kaderisasi. Sehingga mereka punya banyak calon atau stok calon presiden dan wakil presiden.

Katanya, pendidikan politik ke warga harus imbangi dengan reformasi partai politik. Kalau pendidikan politik ke warga makin baik, tapi partai politik tidak bisa memberikan banyak opsi, ini menjadi sinyal kurang bagus.

“Namun kalau partai tidak mau melakukan perbaikan, ya jangan dipilih,” sebutnya.

Terkait dengan permohonan ini diajukan oleh Gulfino Guevarrato, Ucu memprediksi tak akan dikabulkan oleh MK. Ia yakin MK tidak akan membuat keputusan yang berisiko bagi penyelenggaraan Pemilu yang waktunya sebentar lagi.

“Sepertinya tidak akan dikabulkan, tapi diserahkan ke DPR. Sebab yang membuat Undang-Undang kan DPR,” terangnya.

Namun jika permohonan itu dikabulkan oleh MK, Ucu memprediksi akan terjadi kegemparan. Sebab Prabowo Subianto sudah pasti tereliminasi. Artinya, partai pengusungnya juga akan berteriak lantang.

“Jika MK mengabulkan, boleh jadi ini mempertegas bahwa MK itu menjadi mahkamah yang tidak independen lagi. Itu bahaya bagi MK dan publik,” katanya.

Selain itu, penyelenggaraan Pemilu juga akan bermasalah. Sebab partai politik harus mencari calon presiden baru. Terutama koalisi pengusung Prabowo. “Mereka harus mencari calon baru, dan itu tidak mudah dan tidak cepat,” ucap Ucu.

Ucu mengingatkan bahwa pelbagai fenomena terjadi menjelang Pemilu 2024 ini bisa menjadi semacam etalase. Warga negara atau pemilih bis amelihat calon mana yang akan dipilih.

“Jika publik merasa orang itu tidak beretika karena sudah dua kali gagal tapi terus maju, ya tidak perlu dipilih. Namun jika publik merasa itu tidak masalah, pasti ia akan dipilih,” jelasnya. (saf/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs