Sabtu, 23 November 2024

Pengamat Menilai Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres Rusak Tatanan Bernegara

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Farid suarasurabaya.net

Dedi Kurnia Syah Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) menilai kehidupan demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia capres-cawapres.

Dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK menyatakan Pasal 169 UU Pemilu yang sebelumnya berbunyi berusia paling rendah 40 tahun, berubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Menurutnya, putusan MK itu membuka jalan bagi tumbuh suburnya nepotisme. Lebih parah lagi, MK dinilai sudah merusak tatanan bernegara.

“Demokrasi tentu terganggu, lahirnya politik dinasti, suburnya nepotisme. Soal imbas putusan itu yang membuka potensi nepotisme, itu hanya bagian kecil. Bagian besarnya adalah MK telah merusak tatanan yudikatif. Kerusakan ini bukan soal politik, tetapi tatanan negara ikut keropos,” ujarnya di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Dedi berpandangan Anwar Usman Ketua MK layak dicopot dari jabatannya, dan diproses hukum. Dia mendasarkan pandangannya pada beberapa argumen yang menunjukkan pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.

Pertama, hakim yang miliki relasi langsung dengan materi gugatan, seharusnya tidak ikut dalam merumuskan putusan. Kedua, MK tidak miliki wewenang mengubah, menambah mau pun mengurangi naskah UU.

“MK hanya bisa membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum ke DPR RI. Sehingga, MK layak disebut merusak konstitusi, bahkan hakim yang ikut mengubah UU layak disebut kriminal,” tuturnya.

Sementara itu, Danis TS Wahidin Peneliti Politik dan Kebijakan mengatakan, masyarakat bisa mengambil sikap dengan memberikan sanksi elektoral terhadap kandidat yang bermasalah dan merusak.

“Kesalahan politik harus diluruskan dengan kebenaran politik. Masyarakatlah sekarang harapan satu-satunya hukuman elektoral dengan tidak memilih kandidat yang bermasalah,” ucapnya.

Putusan MK, sambung Danis, sarat kepentingan, memuluskan nepotisme keluarga Joko Widodo yang sekarang masih menjabat Presiden RI.

“Ada cacat hukum dalam pengambilan keputusan MK. Hakim-hakim membawa MK jauh ke ruang-ruang politik. Padahal, MK dan DPR serta lembaga kepresidenan sejajar, tidak boleh saling intervensi,” paparnya.

Majunya Gibran menjadi cawapres juga dinilai berdampak negatif terhadap politik di kalangan anak muda.

“Hari ini kita sedang menghadapi era bonus demografi. Anak muda harus mulai dipercaya dan diberikan peluang mengisi jabatan-jabatan strategis, agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi. Tapi, tentu dengan jalan dan aturan yang benar, dengan prestasi bukan prestise, dengan demokratis bukan dengan oligarkis. Anak muda harus dipahamkan tentang pentingnya nilai-nilai religiusitas, nasionalisme dan kenegarawanan,” tambah Dosen Ilmu Politik di UPN Veteran Jakarta itu.

Danis menambahkan, walau sekarang jalan Gibran terlihat mulus, tapi dia bilang bakal berkerikil di perjalanan ke depan. Muncul sentimen negatif di masyarakat, dan mempengaruhi elektabilitas pasangan Prabowo- Gibran.

“Pengaruh elektabilitas Gibran terhadap Prabowo tidak terlalu signifikan, Pak Prabowo sudah memiliki elektabilitas bawaan sekitar 30-40 persen. Sedangkan Gibran hanya sekitar 2-10 persen,” pungkasnya. (rid/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs