Hendri Satrio Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina mengatakan, indeks optimisme masyarakat terhadap kondisi Indonesia saat ini turun drastis dari 64 persen menjadi 3,6 %. Penurunan tersebut, disumbang dari indeks politik dan hukum dari 28,1 persen menjadi minus 10,2 %.
“Generasi muda nampaknya tidak terlalu optimis, bahkan minus. Ini pekerjaan rumah kita untuk mengembalikan optimisme anak muda terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia,” kata Hendri Satrio (Hensat) dalam diskusi daring dengan tema Pemilih Muda dan Kontestasi Pemilu 2024, Rabu sore (15/3/2023).
Untuk mengembalikan optimisme itu, menurut Hensat, pendekatannya adalah melalui pendekatan hukum, dimana hukum tidak boleh diskriminatif atau tebang pilih lagi. Disamping itu, pemerintah juga harus bersih-bersih terhadap para pejabatnya yang saat ini menjadi sorotan publik.
Kata Hensat, yang bisa mendorong anak-anak muda berpartisipasi dalam politik, yakni adanya kepedulian terhadap pekerjaan, karir, pendidikan, keinginan memiliki rumah dan penghasilan.
“Jika harapan-harapan itu tidak bisa dipenuhi pemerintah, maka optimisme anak muda terhadap Indonesia akan turun. Ini harus menjadi konsen Partai Gelora, jika ingin mendapatkan suara anak muda,” kata pengamat KedaiKopi ini
Hensat berharap Pemilu 2024 bisa dilaksanakan dengan gembira agar semua orang bisa berpartisipasi, tidak ada ketakutan dalam menyambut pesta demokrasi ini.
“Saya ingin meminta dan mengajak masyarakat Indonesia untuk menyambut kembali pelaksanaan pemilu yang gembira. Inti dari pemilu itu, pesta demokrasinya gembira, kebahagian dan kegembiraan,” kata dia.
Sedangkan Anggi Afriansyah Peneliti Kelompok Riset Pemuda, Modal Manusia dan Masa Depan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan, ada kecenderungan anak-anak muda sejak 2014 mulai tertarik pada isu-isu pemilu.
“Jadi kalau partai politik mau mendapatkan suara dari anak muda juga harus menyasar mereka yang ada di desa-desa, karena mereka tidak memiliki akses terhadap media sosial,” kata Anggi.
Anak-anak muda di desa, lanjut Anggi, secara tradisional menurut apa yang dikatakan orang tua mereka, termasuk dalam pilihan politik.
Sehingga diperlukan strategi pendekatan khusus terhadap anak muda di desa, apabila ingin pilihan politiknya berbeda dengan orang tuanya.
“Menurut saya partai yang bisa menggarap serius isu-isu yang menjadi problematika anak muda akan menjadi partai masa depan. Jadi kita harus sabar dalam melakukan pendidikan politik ke anak muda, tantangannya berat. Panennya bukan dalam kontestasi 2024, tapi akan datang karena konteksnya membangun bangsa. Itu kita menggarap anak muda secara demografi secara serius,” katanya.
Sebaliknya, Raihan Ariatama Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) mengatakan, preferensi pilihan politik anak muda sekarang, berbeda dengan orang orang tuanya. Orang tua sekarang tidak bisa memaksakan pilihan politiknya kepada anak mereka.
“Saya yakin anak muda sekarang berani berbeda dengan orang tua sekalipun, itu dimulai saat memilih jurusan saat kuliah. Meskipun orang tua meminta kita di jurusan lain, di kampus lain. Kita tetap pilih sesuai yang kita inginkan, termasuk dalam preferensi pilihan politik, orang tua tidak bisa memaksa lagi pilihannya,” kata Raihan Ariatama.(faz/rst)