Kamis, 21 November 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Dorong Gerakan Mewujudkan Pemilu Demokratis Pascaputusan MK

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi kotak suara Pemilu 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres menjadi basis nepotisme dan dinasti politik.

Dua media massa luar negeri pun menyorot dinamika politik di Indonesia. Handesblatt media massa asal Jerman menyorot langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Joko Widodo Presiden yang maju sebagai cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.

Menurut Handesbaltt, majunya Gibran merupakan bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia.

“Kami memandang, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tidak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia,” tulis Handesblatt, Selasa (31/10/2023).

Sebelumnya, kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan Time media Amerika Serikat.

“Putusan MK itu tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, tapi khusus dihadiahkan untuk kepala daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibran yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres,” ujar Hendardi perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Sabtu (4/11/2024), di Jakarta.

Konflik kepentingan yang terjadi akibat Anwar Usman Ketua MK yang juga paman dari Gibran mengabulkan uji materi UU Pemilu Nomor 90 tentang batas usia capres-cawapres bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku Hakim, tapi juga bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang.

“Hal itu merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia. Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara Nomor 90 merupakan bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme yang terang benderang terjadi. Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa,” katanya.

Hendardi melanjutkan, itu bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

“Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan,” lanjutnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai, Pemilu yang diwarnai putusan MK itu mencederai prosesnya. Sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya.

“Sulit untuk mewujudkan pemilu dan hasil yang demokratis pascaputusan MK lantaran arena sejak dini, penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan-tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK,” tegasnya.

Menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai Presiden, Jokowi semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun politik dinasti yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme.

“Kami menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan. Untuk merespon hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998,” pungkas Hendardi.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis terdiri dari (PBHI Nasional, Imparsial, WALHI, Perludem, ELSAM, HRWG, Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, IKOHI, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), KontraS, dan Indonesian Parlementary Center (IPC).

Kemudian, Jaringan Gusdurian, Jakatarub, DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Inklusif, Fahmina Institute, Sawit Watch, Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lingkar Madani (LIMA), Desantara, FORMASI Disabilitas (Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas).

Lalu, SKPKC Jayapura, AMAN Indonesia, Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, Eco Bhinneka Muhammadiyah, dan FSBPI.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 21 November 2024
32o
Kurs