Debat calon wakil presiden (cawapres) jadi hal yang paling ramai diperbincangkan masyarakat dalam beberapa waktu terakhir, usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara mengejutkan merubah format debat terbaru.
Debat tetap diselenggarakan lima kali sesuai Undang-Undang Pemilu, dengan jatah tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres. Namun, dalam format debat terbaru KPU, capres diwajibkan untuk ikut hadir dalam debat cawapres memberikan pendampingan.
Dari pihak KPU sendiri, Hasyim Asy’ari selaku ketua pada, Jumat (1/12/2023) lalu mengatakan, kehadiran bersama pasangan capres-cawapres dalam setiap debat untuk menunjukkan kesatuan dan kekompakan di antara keduanya kepada publik.
Ditegaskan juga kalau dalam debat tersebut, porsinya tetap diutamakan dan lebih banyak kepada masing-masing cawapres sebagai aktor utama.
Menanggapi hal ini, Khoirunnisa Nur Agustyati Pengamat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan kalau format debat baru dari KPU itu, sebenarnya sama saja dengan meniadakan debat khusus antar cawapres.
“Kalau kemudian nanti, misalnya ketika debat cawapres kalau capresnya hadir disitu dan diberi porsi juga untuk bicara, ya bukan debat cawapres dong namanya, tapi debat bareng (capres-cawapres),” ujarnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (4/12/2023).
Bukan soal teamwork, menurutnya publik justru ingin tahu bagaimana capres-cawapres bisa merespon dengan spontan suatu pertanyaan atau permasalahan. Hal tersebut, kata dia, bisa terlihat dalam pelaksanaan debat capres-cawapres seperti sebelum-sebelumnya.
“Ya namanya pasangan memang perlu ada teamwork-nya, tapi kita juga ingin tau bagaimana masing-masing (pasangan) ini ya baik capres maupun cawapres ini tadi bisa merespon dengan spontan. Debat itu kan kita gak hanya lihat apa gagasannya, tapi gesture-gesture, artikulasi dan sebagainya (dari masing-masing capres-cawapres) juga, publik ingin melihat itu juga,” jelas Nisa sapaan akrabnya.
Untuk itu, dia juga minta agar KPU RI memberikan penjelasan kepada publik secepatnya soal debat capres-cawapres yang kini menjadi polemik di masyarakat tersebut. Apalagi, sekarang muncul narasi terkait KPU yang dinilai tidak netral, dan kebijakannya dapat banyak intervensi dari pihak eksternal.
Menurutnya, jika tidak ada penjelasan secara detail dan transparan dari KPU selaku pihak penyelenggara pemilu, dampaknya bisa ke penurunan kepercayaan masyarakat.Kepercayaan kepada pemilu, lanjutnya, bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga proses menuju hasil tersebut.
“Apalagi di tengah dinamika politik hari ini ya, sejak jauh-jauh hari sudah banyak sekali narasi-narasi dan wacana-wacana, pemilu harus netral, pemilu harus independen dan sebagainya situasi seperti ini kan bisa saja menjadi psikologi(buruk)-nya publik, kalau KPU tidak bisa menjelaskan alasannya apa gitu ya, nah itu tentu keraguan itu bisa muncul dari masyarakat,” bebernya.
Termasuk dalam membuat format debat, KPU menurut peraturan perundang-undangan harus berkoordinasi dengan DPR RI, diskusi dengan liaison officer (LO) masing-masing tim kampanye.
Sebagai lembaga yang independensi-nya dijamin oleh konstitusi, seluruh keputusan bisa diambil secara mandiri oleh KPU selaku penyelenggara pemilu tanpa ikut campur pihak luar.
Saat ini, kata Nisa, Perludem juga tengah mendorong masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas dan well informed. Namun, semua itu baru bisa terwujud kalau pihak penyelenggara pemilu memfasilitasi, salah satunya dengan menghadirkan format debat yang bisa mendukung hal tersebut.
“Memang salah satu hal yang perlu diantisipasi, kita kan tidak ingin bahwa pemilu ini juga tidak dapat legitimasi dari publik. Tetap harapannya baik proses dan hasilnya itu bisa dipercaya oleh publik. Nah makanya penyelenggara pemilu itu perlu firm, perlu tegas dan (pendiriannya) tidak berubah-ubah,” tutupnya. (bil/faz)