Ahmad Khoirul Umam Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) mengatakan, sepuluh hari jelang pendaftaran Capres-Cawapres di KPU, kubu Prabowo dan Ganjar masih belum ada tanda-tanda mendeklarasikan pasangan bacawapresnya.
Menurut Umam, besar kemungkinan, Ganjar masih menanti keputusan nama bacawapres Prabowo. Sedangkan Prabowo sendiri benar-benar masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan umur Cawapres 35 tahun.
“Jika putusan MK mengabulkan gugatan Judicial Review (JR) atas batas umur Cawapres itu, maka hampir pasti Gibran akan menjadi Cawapres Prabowo,” ujar Umam dalam keterangannya pada suarasurabaya.net, Selasa (10/10/2023).
Kata Umam, sisi positif dari pencawapresan Gibran, hadirnya Putra Sulung Jokowi itu memang dianggap bisa menjadi “titik temu” dari proses negosiasi yang alot di internal Koalisi Indonesia Maju, utamanya di tengah tarik-menarik antara Golkar dengan PAN yang menginginkan Erick Tohir.
“Pencawapresan Gibran juga bisa menjadi mesin politik untuk menggerus suara pendukung Ganjar Pranowo di basis-basis wilayah yang dikuasai PDIP,” jelas Umam yang juga Dosen Ilmu Politik and International Studies, Universitas Paramadina ini.
Di sisi lain, lanjut dia, pencawapresan Gibran bisa menciptakan “perang bubat” antara kubu Prabowo dengan PDIP yang lagi-lagi akan merasa dikhianati, dilangkahi dan diabaikan oleh keluarga Jokowi.
“Jika Gibran menjadi Cawapres Prabowo, besar kemungkinan PDIP akan melakukan evaluasi total terhadap status relasi dan keanggotaan Gibran, Boby, dan juga Jokowi sendiri di PDIP,” tegasnya.
Di saat yang sama, kata Umam, pencawapresan Gibran tampaknya sekarang sedang ditunggu-tunggu oleh para rival politik Jokowi, sebagai narasi “politik dinasti”, yang akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk menghantam legitimasi dan kredibilitas politik Jokowi Presiden, sekaligus menghancurkan mesin politik pencapresan Prabowo Subianto.
Sebab, menurut Umam, putusan MK dan deklarasi Prabowo-Gibran akan dianggap sebagai manifestasi nyata akan ambisi besar Jokowi yang haus kekuasaan, sebagai kelanjutan atas operasi politik untuk mewujudkan presiden 3 periode, penundaan Pemilu, hingga mengokohkan posisi anak-anaknya di percaturan politik kekuasaan nasional.
Bahkan, Umam menegaskan, narasi politik dinasti yang merujuk pada pasangan Prabowo-Gibran itu bisa dijadikan sebagai wacana penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yang dikait-kaitkan dengan potensi intervensi kekuasaan presiden terhadap yurisdiksi MK.
“Jika PDIP tersulut, lalu berkoordinasi dengan partai-partai koalisi perubahan yang menjadi rival kekausaan saat ini, maka tidak menutup kemungkinan hal ini bisa membuka peluang bagi munculnya proses impeachment terhadap kekuasaan Presiden Jokowi,” ungkapnya.
Selanjutnya, Umam menjelaskan, di tataran Pilpres, pasangan Prabowo-Gibran akan mengonsolidasikan semua musuh-musuh politik Jokowi untuk bersatu, termasuk PDIP, untuk melakukan perlawanan secara terbuka pada kekuasaan Jokowi dengan mengalahkan Prabowo-Gibran.
“Di sinilah, pertemuan Puan Maharani dan Jusuf Kalla menemukan urgensi dan relevansinya, sebagai koordinasi awal untuk membuka kemungkinan kerja sama politik di putaran kedua Pilpres 2024 mendatang, jika Jokowi dianggap betul-betul sudah “berulah” dan “lupa diri” dengan amanah kekuasaan yang ia pegang saat ini,” pungkas Umam. (faz/ham)