Ahmad Doli Kurnia Tanjung Ketua Komisi II DPR RI mengatakan persoalan klasik Daftar Pemilih Tetap (DPT) sering berulang di setiap proses pemilihan umum.
Menurut dia, hal ini disebabkan karena belum adanya sistem database kependudukan yang terintegrasi dan valid.
“Inikan data-data kita masih tersebar ke institusi masing-masing, di Kemendagri ada data kependudukan, tapi di Kemensos juga ada data penerima bantuan sosial, ini yang masih belum sinkron semua. Ini yang membuat akhirnya teman-teman KPU harus bekerja keras. Harusnya, kan, yang namanya data kependudukan ini tidak menjadi pekerjaan elektoral. Pekerjaan election itu kan yang harus dilakukan oleh teman-teman KPU, ya tahapan-tahapan itu, nggak ada urusan dengan kependudukan kalau kita lihat pelaksanaan pemilu di seluruh dunia,” ujar Doli dalam keterangannya, Jumat (6/10/2023).
Doli menjelaskan bahwa yang namanya data kependudukan itu harus disiapkan oleh Pemerintah, namun karena Indonesia belum memiliki sistem database yang terintegrasi dan valid, maka hal itu menjadi susah. Kemudian, terbitlah jalan tengah di mana data dikoordinasikan antara KPU dan Dukcapil. Namun, di sini pun masih ada ego sektoral yang tidak terelakkan.
“Ini juga nanti ada ego sektoral juga antara Dukcapil dengan KPU, makanya kenapa selalu kami kalau ada rapat dengan penyelenggara kami undang Dukcapil. Jadi kami mengundang dinas dukcapil itu bukan untuk mendengarkan saja, tapi kita mau mendengarkan koordinasi terus apa yang sudah dilakukan dinas dukcapil, mungkin ini kita akan sampaikan ke Mendagri untuk kita koreksi,” katanya.
Sementara, Ongku P. Hasibuan anggota Komisi II DPR RI menyoroti pengaturan teknis atau secara implementasi permasalahan DPT ini, terutama bagi orang yang genap 17 tahun di 14 Februari mendatang.
Meskipun dengan aturan yang baru cukup dengan melampirkan surat keterangan, namun permasalahan lain yang paling rentan sebenarnya adalah data kematian, yang tidak memiliki surat kematian.
“Yang meninggal dunia tidak dihapus karena apa? Karena alasan yuridis formal, katanya kalau ada yang meninggal itu harus ada surat keterangan meninggal, padahal di desa-desa banyak itu yang tidak punya surat keterangan, meninggal, meninggal saja, tapi dilaporkan, eh DPT-nya sudah ada. Ini rawan juga untuk bisa dipermainkan. Kita tahu pengawas TPS itu cuma satu orang dari Panwaslu, sedangkan petugas TPS itu banyak dan yang diawasi 250-an orang ini rawan, yang paling menyedihkan itu adalah yang meninggal tetapi tidak diakui meninggal sebelum ada surat, itu yang berat,” pungkasnya.(faz/iss)