Jumat, 22 November 2024

Dosen Kebijakan Publik Soroti Kebijakan Cuti Pejabat untuk Kampanye Pilpres 2024

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi.

Joko Widodo Presiden beberapa waktu lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023, yang memungkinkan kepala daerah dan menteri tidak harus mengundurkan diri selama masa kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Dalam pasal 18 ayat (1) PP tersebut dijelaskan pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Namun, menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden.​​​​​​​

PP Nomor 53 2023 tersebut kemudian disorot dan mengundang kritik sejumlah pengamat kebijakan publik karena dianggap objektif, serta menguntungkan pihak tertentu. Karena, dianggap ada unsur kepentingan politik didalamnya.

Salah satunya Ika Idris dari Associate Professor Program Kebijakan Publik dan Manajemen Universitas Monash Indonesia yang mengatakan kalau jatah cuti tersebut perlu disorot, karena bisa terjadi penyalahgunaan wewenang oleh yang bersangkutan.

“Jatah cuti yang didapat itu satu hari cuti kerja dalam satu minggu. Sedangkan hari libur (jadi) hari bebas untuk melakukan kampanye. Nah berarti sebenernya ada hari (di luar cuti) di mana dia gak cuti dari jabatannya. Dan di dalam hari-hari itulah sebenarnya potensi untuk abuse atau penyalahgunaan wewenang itu bisa terjadi,” ujarnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (27/11/2023).

Selain itu, Ika mengajak kita untuk melihat siapa saja yang paling mendapat keuntungan dari sebuah kebijakan yang dibuat, serta apa perbedaan yang bisa dibuat dari kebijakan tersebut. Menurutnya, kebijakan tidak tercipta di ruang hampa dan dibuat serta dikembangkan oleh pembuat kebijakan yang bersifat goal oriented.

“Itu bukan random ujuk-ujuk (tiba-tiba) dibikin gitu ya. Sekarang peraturan pemerintah ini dibikin untuk siapa? Ini jelas sekali, yang tadinya harus mengundurkan diri, ternyata sekarang cukup cuti. Cutinya pun cuma satu hari dalam lima hari kerja. Ini sekarang jelas untuk kepentingan politik, apalagi banyak ketua umum partai/tim sukses yang menjabat sebagai menteri,” jelasnya.

Ika mengungkapkan, selama ini sudah banyak kasus abusing yang dilakukan para pejabat. Mulai dari ajakan memilih di kegiatan pemerintahan, hingga kampanye terselubung saat kegiatan penyaluran bantuan sosial.

Dia menyebut di setiap agency maupun lembaga pemerintah, jadi yang paling sering disusupi kampanye. Yang paling masif, terjadi pada 2019 lalu soal kampanye penanganan stunting. Logikanya, kampanye penanganan stunting diadakan ke daerah-daerah yang memang membutuhkan penanganan secara khusus.

“Tapi kenapa akhirnya daerah-daerah yang menjadi fokus itu malah bukan daerah yang bermasalah (butuh penanganan stunting), tapi daerah di mana kantong-kantong pemilihan (suara) ini lebih besar. Jadi menurut saya akan susah sekali, utamanya melihat batasan di sebuah program apakah itu digunakan untuk kepentingan publik atau memang jangan-jangan ditumpangin oleh kepentingan yang lain,” ungkapnya.

Ia lantas juga membandingkan kebijakan cuti tersebut, dengan larangan foto dengan pose jari yang ditujukan kepada para aparatur sipil negara (ASN) dengan dalih menjaga netralitas.

“Yang di bawah malah dikunci sampai level ini loh mbak kalau pose foto di sosmed, itu sampai di level itu. Jadi ASN ini ditakut-takutin, dia harus netral sampai di level kalau foto pun harus diatur,” ungkapnya.

Oleh karenanya, Ika menyayangkan peran dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang selama ini dinilai kerap kecolongan dalam pengawasan. Selain itu, pernyataan memperketat pengawasan juga dianggap hanya sebagai jargon belaka. Karena tak kunjung ada langkah tegas.

Padahal, masyarakat lewat Undang-Undang Pemilu menurutnya bisa membantu Bawaslu melakukan pengawasan kepada kegiatan pemerintahan yang diduga disusupi kepentingan politik, lewat pengawas partisipatif.

Selain itu, dengan adanya whistleblowing system (WBS), Bawaslu harusnya bisa melakukan penindakan kepada para pejabat yang diduga melakukan pelanggaran tersebut.

Oleh karena itu, Dosen Kebijakan Publik itu mengajak masyarakat agar lebih melek dan aware soal pilihan politiknya nanti. Karena, kebijakan dan aturan-aturan yang kelak mereka buat, akan mencerminkan untuk kepentingan bangsa atau tertentu.

“Ini bukan cuma capres-cawapres ya, itu kan tim sukses banyak banget ya, menteri, kepala daerah yang lain, menurut saya, kita sudah bisa lihat ya bahwa ini kan sebenarnya udah jaringan kepentingan. Terus ada aturan yang dibuat untuk sebenarnya melanggengkan jaringan kepentingan politik itu,” tutupnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs