Wahyudi Djafar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai, kebocoran data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bisa berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu.
Kalau benar terjadi kebocoran data, legitimasi dan integritas penyelenggaraan pemilu terancam tergerus.
“Publik mungkin akan bertanya-tanya dengan keandalan sistem informasi pemilu, termasuk yang digunakan untuk penghitungan hasil pemilu karena adanya kerentanan-kerentanan keamanan sistemnya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Menurutnya, hal itu juga bisa berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
Sistem yang rentan dan berisiko tinggi terhadap serangan juga akan mengurangi legitimasi pemilu.
“Karena adanya risiko kerentanan (risiko serangan), maka legitimasi pemilu juga berkurang,” imbuhnya.
Apalagi, kebocoran data bukan terjadi sekali saja, tapi berulang. Kejadian itu pun tidak diikuti dengan evaluasi dan investigasi tuntas untuk mencegah kasus yang sama terjadi lagi.
“Justru setiap kali ada insiden kebocoran, yang ada penyangkalan. KPU sendiri belum memiliki kebijakan data pribadi yang baik untuk memastikan perlindungan data pribadi yang mereka kelola,” lanjutnya.
Wahyudi berharap insiden kebocoran data bisa diselesaikan secara tuntas, untuk memberi pembelajaran bagi perbaikan kebijakan internal dan sistem perlindungan data KPU, termasuk juga sistem keamanan sibernya.
“Sehingga publik bisa percaya dengan seluruh sistem informasi yang dikembangkan KPU,” pungkasnya.
Sementara itu, Khairunnisa Nur Agustyati Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyayangkan terjadinya kebocoran Data Pemilih Tetap (DPT menjelang Pemilu 2024.
Dia mendesak KPU segera membenahi masalah tersebut untuk memberi rasa aman bagi pemilih mau pun menjaga kredibilitas Pemilu.
“Ini jadi salah satu kekhawatirannya. Kita sebagai publik sekarang seolah-olah tidak bisa apa-apa, padahal kita dengan sukarela menyerahkan dan mempercayakan data pribadi kita untuk kepentingan pemilu. Seharusnya data itu bisa dijaga betul oleh yang menggunakan data,” kata Khairunnisa.
Ke depan, dia meminta KPU lebih profesional lagi membenahi sistem teknologi terutama sistem keamanan sibernya.
“Dalam penggunaan teknologi, KPU perlu mempersiapkan semuanya dengan matang, mulai dari kesiapan perangkatnya, SDM, kebersihan siber, dan sebagainya. Walau pun untuk pemungutan kita masih manual, tapi KPU menggunakan teknologi untuk tahapan pemilu yang lainnya. Seperti pendaftaran pemilih. Itu pun perlu dipersiapkan dengan matang juga perangkat teknologinya,” tegasnya.
Belajar dari kasus itu, Khairunnisa bilang KPU perlu terus berbenah diri, dan publik perlu mendapatkan penjelasan apakah KPU sudah melakukan pemrosesan data pribadi dengan baik, termasuk juga dengan keamanan sibernya.
Sebelumnya, situs Komisi Pemilihan Umum (kpu.go.id) kembali menjadi sasaran serangan siber oleh peretas.
Peretas dengan nama anonim Jimbo mengklaim berhasil mendapatkan sekitar 204 juta data pemilih tetap (DPT) dari situs penyelenggara pemilu.(rid)