DPD PDI Perjuangan Jatim mengusulkan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah bekerja belasan tahun sejak 2007 mendapatkan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Said Abdullah Plt Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim menyebut, usulan itu ditujukan ke Tri Rismaharini Menteri Sosial dan Andullah Anwar Anas Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
“Hasil komunikasi kami dengan Bu Risma dan Mas Anas usulan agar kawan kawan Pendamping PKH bisa menjadi pegawai PPPK telah diusulkan, dan tinggal menunggu keputusan Rapat Kabinet Terbatas,” ungkap Said Abdullah dalam keterangannya, Senin (20/2/2023).
Tindak lanjut dari usulannya, masih harus menunggu hasil keputusan Rapat Kabinet Terbatas.
“Kita tunggu, semoga tidak lama lagi ada kabar baik atas aspirasi kawan kawan para pendamping PKH, saya akan segera update atas hal tersebut,” sambungnya.
Ketua Badan Anggaran DPR RI itu juga menyebut, mengentaskan kemiskinan termasuk bagian tugas ideologis PDI Perjuangan.
Tahun ini, lanjutnya, lebih dari Rp400 triliun APBN dialokasikan untuk berbagai program pengentasan kemiskinan. Bahkan lebih dari Rp600 triliun belanja APBN untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan rakyat.
“Harusnya bisa memperbaiki nasib rakyat kita, terutama dari kalangan rumah tangga miskin,” ujar Said.
Soal usulan itu, tambahnya, juga jadi salah satu agenda Rapat Koordinasi (Rakor) dengan seluruh jajaran struktural partai di tingkat kabupaten dan kota, anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPRD Jatim dan seluruh kabupaten/kota se-Jatim.
“Termasuk dengan para kepala daerah dan wakil kepala daerah dari PDI Perjuangan se-Jatim. Kami konsolidasikan aspirasi kawan-kawan pendamping PKH dengan mereka,” ungkapnya.
Sebelumnya, ratusan koordinator wilayah, dan kabupaten/kota Pendamping PKH menyampaikan aspirasi ke jajaran pengurus DPD PDI Perjuangan Jatim.
Agus Sudrajat salah satu Korwil Pendamping PKH Jatim menyampaikan, para pendamping PKH telah bekerja sejak program PKH dijalankan tahun 2007, berlanjut hingga tahun ini dan ke depan. Namun ketidakpastian status kerja para pendamping PKH ini membuat ia dan rekan-rekannya menerima resiko putus kontrak tahunan.
“Kami selama ini mewakafkan waktu kami untuk total mengurus pekerjaan yang memang kami anggap mulia ini. Dan kami tidak menyediakan waktu untuk bekerja yang lain. Kami konsentrasi penuh, sehingga kalau kontrak tidak diperpanjang, tentu akan menyulitkan masa depan kawan kawan,” sambungnya.
Pendamping PKH lainnya juga mengungkap, saat kerja di lapangan mereka dan rekan rekannya seringkali dipersoalkan secara hukum meski bukan vendor pengadaan barang bantuan PKH. Ketika nilai bantuan dianggap tidak mencerminkan nilai barang, tidak setara dari nominal yang semestinya, seringkali mereka menjadi sasaran ancaman LSM.
“Bagi rekan-rekan pendamping PKH yang tidak mengetahui seluk beluk hukum, ancaman ini tentu menggelisahkan. Padahal konsentrasi kerja kami hanya memastikan program tersebut berjalan dengan baik, dan diterima oleh para penerima manfaat,” jelas dia.
Para pendamping PKH juga berharap agar pemerintah daerah, kabupaten dan kota, para kepala daerahnya memberikan perhatian dan dukungan terhadap kinerja para pendamping PKH. (lta/iss/ipg)