Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai usulan penundaan Pemilu 2024 justru berisiko mengganggu stabilitas ekonomi. Selain itu, perangkat hukum yang ada belum memfasilitasi penundaan Pilpres dan perpanjangan masa jabatan presiden maupun DPR dan DPD.
“Kalau kemarin Pilkada ditunda karena situasi pandemi, demi keselamatan rakyat, saya setuju. Tapi kalau menunda Pemilu karena alasan ekonomi, dari sisi hukum, UU Pemilu, konstitusi kita, tidak ada ruang untuk menunda Pemilu karena alasan untuk menjaga stabilitas ekonomi,” ujar Titi kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (25/2/2022).
Sebelumnya, Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR pada Rabu (23/2/2022) mengusulkan Pemilu 2024 ditunda selama satu atau dua tahun. Alasannya, agar momentum perbaikan ekonomi ini tidak hilang dan tidak terjadi freeze (pembekuan ekonomi) untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi. Usulan yang dihasilkan setelah mendapat masukan dari dunia usaha itu akan segera disampaikan kepada Joko Widodo Presiden dan pimpinan-pimpinan partai.
Secara konstitusi, kata Titi, sangat tegas disebutkan, masa jabatan presiden lima tahun dan hanya bisa dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Begitu pula untuk DPR dan DPD dipilih lima tahun sekali.
“Waktu Pilkada kemarin, waktu ada tuntutan menunda Pilkada, Mendagri bicara di mana-mana bahwa Pilkada akan mendongkrak kondisi ekonomi. Pilkada dianggap memicu pertumbuhan ekonomi. Makanya Pilkada tetap dilaksanakan di tahun 2020 meski saat itu pandemi kasusnya sedang tinggi-tingginya,” kata Titi.
Adapun syarat penundaan Pemilu menurut Pasal 431 dan 432 UU Nomor 7 Tahun 2017, ada empat kondisi yang dapat menunda Pemilu yaitu terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan gangguan lainnya yang selama ini karena faktor ketiadaan anggaran.
“Kalau tidak ada anggaran bisa menunda, tapi hanya di tempat-tempat yang anggarannya tidak ada. Biasanya ini terjadi hanya di penyelenggaraan Pilkada, tidak pernah dalam penyelenggaraan Pemilu”.
Dia juga menyayangkan usulan Wakil Ketua DPR ini karena pemerintah, DPR, dan KPU sudah sepakat Pemilu 2024 diputuskan pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024.
“Baru seminggu KPU me-launching, eh sudah ada narasi menunda Pemilu. Ini memang sangat disayangkan,” ujarnya.
Kalau tetap ingin memaksakan Pemilu mundur, pemerintah dan DPR harus mengubah Undang-Undang Dasar karena di sana disebutkan masa jabatan presiden hanya lima tahun, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Lima tahun setelahnya harus ada Pemilu dan harus bersamaan dengan Pemilu DPR dan DPD. Selain itu juga harus mengatur legalitas menunda pemilu dan siapa yang memimpin negara ini ketika Pemilu ditunda.
“Masalahnya, apakah bijaksana, apakah tepat, mengubah konstitusi hanya untuk kepentingan temporer dan pragmatis. Saya khawatir, mau menjaga stabilitas ekonomi, tapi masyarakat jadi turun ke jalan karena tidak setuju. Tadinya mau mengatasi pandemi dengan menjaga jarak. Iklim usaha terganggu karena dianggap stabilitas politiknya tidak terjamin,” tegas Titi
Menurut Titi, yang sekarang perlu dilakukan adalah semua pemangku kepentingan mengikuti agenda yang sudah terjadwal dengan baik, sehingga ada kepastian bagi dunia usaha dan menjamin stabilitas politik.
“Berdasarkan laporan The Economic Intelegent Unit, kinerja demokrasi Indonesia sudah mulai membaik. Tadinya kita peringkat 64 sekarang 52. Sudah ada pergerakan untuk memperbaiki kulitas demokrasi kita. Saya khawatir narasi-narasi penundaan pemilu atau presiden tiga periode justru memutarbalikkan capaian-capaian yang kita dapat dan menciptakan instabilitas yang kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik untuk dunia usaha,” ungkap Titi.
Terkait opsi pengaturan ulang anggaran Pemilu dan pemanfaatan teknologi, menurut Titi juga bukan pilihan yang tepat. “Teknologinya harus disiapkan. Biasanya teknologi murah kalau sudah dipakai berkali-kali. Kalau pertama biasanya biayanya sangat besar. Juga harus dipastikan keamanan dan auditnya. Berikutnya bagaimana kawan-kawan di pedalaman bagaimana. Kalau belajar dari praktik pemilu di negara lain, biasanya tidak dalam satu atau dua tahun, bisa berpuluh tahun,” kata Titi.(iss)