Titi Anggraeni Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, ada upaya dari elit-elit tertentu untuk terus membangun narasi populis kepemimpinan seperti terlihat dari deklarasi Joko Widodo Presiden tiga periode oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) beberapa waktu lalu.
Menurut Titi, ada empat cara yang dilakukan untuk menghindar dari pembatasan kekuasaan atau kepemimpinan.
“Ada beberapa cara untuk menghindar dari pembatasan yaitu pertama amandemen konstitusi. Kedua, membuat konstitusi baru. Ketiga itu placeholder presiden atau jadi presiden boneka untuk kemudian menjalankan sebenarnya kekuasaan yang dikendalikan oleh orang yang berada di belakang dia. Yang keempat itu delay election, menunda pemilu,” ujar Titi Anggraeni di Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Menurut Titi, narasi yang paling sering digunakan untuk menghindar dari pembatasan masa jabatan adalah populisme kepemimpinan untuk melanggengkan kekuasaan.
“Bahwa ada presiden yang sangat baik, yang bekerja untuk pembangunan dan kemudian kalau ini berhenti akibat adanya pembatasan masa jabatan, maka kerja-kerja baik itu berhenti,” ungkapnya.
Dari narasi itulah beberapa cara memperpanjang masa jabatan di atas dilakukan. Namun dia mengingatkan bahwa populisme kepemimpinan ini justru akan menghadirkan sebuah krisis bagi negara. Titi mencontohkan kudeta militer yang terjadi di Guinea.
“Ini kita tidak menghendaki itu karena, sekali lagi, data-data menyebutkan bahwa negara-negara yang kemudian menghindari pembatasan masa jabatan dan berbagai strategi akan masuk kepada krisis demokrasi yang berujung kepada krisis ketatanegaraan dan bahkan berdampak pada krisis ekonomi karena dianggap sebagai situasi yang mengakibatkan instabilitas,” terang Titi.
Dia menambahkan, ide penundaan Pemilu 2024 merupakan gula-gula yang menarik dukungan para wakil rakyat.
“Saya kira ini menjadi sesuatu yang kita tidak boleh kita sepelekan dan harus kita serius untuk menolak karena dia menawarkan gula-gula,” ujarnya.(faz/ipg)