Jumat, 22 November 2024

Pengamat: KIB Perlu Koalisi Besar untuk Menghadapi Pemilu 2024

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar (tengah), Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa (kiri) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kanan) berjabat tangan usai memberikan keterangan pers di gedung KPU, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Foto: Antara

Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membuka pintu buat partai politik lain masuk koalisi jelang Pemilu 2024.

PAN sebagai salah satu anggota KIB mendukung wacana koalisi besar, dan mengajak Partai Demokrat bergabung.

Ujang Komarudin Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) menilai koalisi besar yang diinginkan KIB sangat wajar. Karena, sekarang mereka sedang butuh dukungan dari partai lain.

“Saya melihatnya KIB ingin memperbanyak atau menambah koalisi dari partai-partai politik yang lain, maka itu hal yang wajar. Karena bagaimana pun, KIB sangat butuh dukungan dari partai-partai yang lain,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/8/2022).

Menurutnya, koalisi besar mempunyai kelebihan dalam menghadapi Pilpres 2024. Selain menguntungkan untuk memenangkan pasangan calon presiden (capres-cawapres), koalisi besar juga bermanfaat untuk menjalankan roda pemerintahan kalau berhasil menang.

“Kalau mau menang di Pilpres 2024, artinya dibutuhkan koalisi besar. Butuh pengamanan dari partai-partai koalisi di pemerintahan mau pun di parlemen. Jadi, dalam hal ini koalisi akan diusahakan sebesar mungkin, segemuk mungkin yang bisa dilakukan KIB,” imbuhnya.

Maka dari itu, Ujang melihat KIB akan menyambut baik partai yang ingin bergabung dengan koalisi yang mengusung visi PATEN.

Di sisi lain, dia melihat koalisi besar juga punya tantangan. Dengan banyak partai, maka akan memunculkan banyak pandangan berbeda.

“Tantangannya adalah bagaimana menyatukan suara semua partai anggota. Mereka akan sama-sama berjuang untuk memenangkan koalisi itu siapa pun nanti capres-cawapres yang diusung. Minusnya, tentu koalisinya gemuk, terlalu banyak pendapat, terlalu banyak perbedaan. Tentu itu harus disatukan, disamakan,” tambahnya.

Ujang menambahkan, risiko koalisi besar yaitu semakin berkurangnya partai oposisi dalam pemerintahan yang bisa menganggu mekanisme perimbangan kekuasaan (check and balances).

Padahal, mekanisme itu penting untuk mengoreksi serta meluruskan sebuah pemerintahan, serta mendorong pertumbuhan ke arah yang lebih baik.

“Yang harus kita lihat kebutuhan saat ini, koalisi gemuk bukan hanya untuk mengamankan 20 persen tiket pilpres, tetapi juga mengamankan pemerintahan ke depan. Dengan koalisi gemuk tentu pemerintahan akan aman. Hanya saja minusnya akan kekurangan oposisi, tidak ada check and balances,” timpalnya.

Sebelumnya, Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar menegaskan KIB bersifat inklusif, terbuka untuk siapa saja.

“Kami ingin politik yang menyatukan, inklusif, didasarkan pada kesamaan gagasan dan pemikiran untuk kemajuan Indonesia yang kita cintai,” katanya.

Sembari membangun koalisi, Airlangga mengingatkan para elite partai politik terlebih yang berambisi untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden untuk mulai membuat visi misi, serta bekerja nyata dengan posisi atau jabatannya.

Sementara itu, Cecep Hidayat Pengamat Politik dari Universitas Indonesia menilai koalisi besar punya konsekuensi munculnya kepentingan yang juga besar.

“Bentukan koalisi jangan cuma untuk meningkatkan porsi tawar, mendapatkan calon yang elektabilitasnya tinggi. Tapi, harusnya bisa membentuk sistem jangka panjang, demokrasi,” tegasnya.(rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs