Sabtu, 23 November 2024

Penerapan Presidential Threshold Berpotensi Timbulkan Kerawanan Politik

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Burhanuddin Muhtadi Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Foto: Antara

Burhanuddin Muhtadi Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia mengatakan, penerapan presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial.

Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya.

Burhanuddin menilai persyaratan itu aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya.

“Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independen pun bisa maju sebagai calon presiden,” ujar Burhanuddin dalam diskusi secara daring Gelora Talk, Rabu (5/1/2022)

Dia khawatir kalau ambang batas itu dinaikan lagi maka partai berbasis agama akan hilang, sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik.

“Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi pluralisme politik,” tegas Burhanuddin.

Sementara, Anis Matta Ketua Umum Partai Gelora Indonesia menilai threshold memicu polarisasi di masyarakat dan mematikan potensi kepemimpinan nasional

Kata Anis, Pemilu 2019 lalu menjadi catatan buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia yang perlu dilakukan koreksi besar-besaran selama pelaksanaan masa orde reformasi yang hampir seperempat abad atau 25 tahun.

Pasalnya, banyak penyelenggara pemilu yang meregang nyawa akibat pelaksanaan sistem Pemilu Serentak yang dijadikan eksperimen politik pemerintah dan DPR selama ini.

“Persyaratan presidensial threshold (20 persen kursi DPR) menyebabkan polarisasi yang sangat tajam,” tegas Anis.

Menurut dia, sistem tersebut berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam, dan berujung pada pembelahan di masyarakat yang residunya masih ada hingga kini.

Kata Anis, pemberlakuan ambang batas (threshold) pada calon presiden dan parlemen juga menghalang-halangi munculnya potensi kepemimpinan nasional.

Sebab, keberhasilan suatu demokrasi tidak diukur dengan persyaratan ambang batas, melainkan dari partipasi masyarakat. Dan perlu diingat, bahwa negara itu dibentuk dari organisasi-organisasi yang ada masyarakat, bukan sebaliknya.

Di samping itu, pihak penyelenggara Pemilu 2019 lalu juga melahirkan situasi yang overload hingga menyebabkan banyak menelan korban jiwa lebih 900 orang.

“Ini kalau kita mengenyampingkan teori konspirasi, tapi angka 900 lebih hilang nyawa dari penyelenggara Pemilu itu. Artinya untuk setiap satu kursi DPR RI ada hampir dua nyawa yang jadi korbannya, itu angka yang sangat besar,” ucapnya.

Belum lagi, daftar pemilih dalam Pemilu 2019 dikurangi dengan adanya suara rusak serta partai yang tidak lolos threshold. Maka, total anggota DPR yang ada di Senayan kurang dari 50 persen dari angka 575 tersebut.

“Artinya itu juga menunjukkan keterwakilan antara persentasi saat ini, salah satu dari hal-hal yang ingin dievaluasi di Partai Gelora sebagai bagian dari usaha pembenahan pada sistem politik kita,” kata dia.

Anis Matta menegaskan, perubahan sistem politik melalui penyederhanaan Partai Politik, Pilpres dan Pemilu Serentak ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas demokrasi, serta melahirkan pemerintahan yang efektif dan kuat.

“Pengalaman demokrasi yang sangat buruk itu harus dijadikan pembelajaran penting bagi pemerintah. Ini salah satu indikator yang menjadi pertimbangan dasar untuk melakukan evaluasi sistem demokrasi saat ini,” jelasnya.(faz/dfn/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs