Jumat, 22 November 2024

Menko Polhukam: Dialog Publik RKUHP untuk Capai Kesepahaman dan Formulasi Lebih Pas

Laporan oleh Wildan Pratama
Bagikan
Mahfud MD Menko Polhukam saat membuka dialog RKUHP bersama masyarakat saat di Bandung dan secara daring di Surabaya, Rabu (7/9/2022). Foto: Kemenko Polhukam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih menjadi polemik bagi masyarakat membuat Kemenko Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) RI perlu mengadakan dialog publik untuk menyerap aspirasi dan masukan dari berbagai kalangan.

Mahfud MD Menko Polhukam menjelaskan, jika dialog publik itu diperlukan untuk memberi pemahaman bagi masyarakat terkait pasal-pasal kontrovesial yang ada di dalam RKUHP. Sekaligus menerima keterbukaan diskusi terkait pasal-pasal itu.

Tujuan dialog publik tentang RKUHP itu untuk dilakukan revisi dan bisa segera dijadikan Undang-undang. Kata Mahfud, pembentukan KUHP ini adalah produk politik hukum yang pertama, milik Republik Indonesia.

“Sudah ada perintah konstitusi agar hukum-hukum yang berlaku sejak jaman kolonial Belanda segera diganti dengan hukum-hukum pidana yang baru,” ujar Mahfud dalam sambutannya secara daring dari Bandung, Rabu (7/9/2022).

Mahfud melanjutkan, dalam aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945 digariskan bahwa semua lembaga dan peraturan kolonial masih berlaku apabila belum dibentuk UUD yang baru.

Mengapa KUHP zaman Kolonial Belanda harus diganti? Kata Mahfud berdasarkan filsafat, sosiologi, dan politik hukum, bahwa kitab UU yang mengatur pidana harus sesuai dengan pandangan ideologi dan nilai historis masyarakat.

Sedangkan selama ini, KUHP yang diterapkan oleh lembaga hukum dan masyarakat masih menggunakan UU bekas peninggalan penjajahan Belanda.

“Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat yang dilayani,” imbuh Mahfud

Oleh karena itu, negara telah merancang RKUHP yang baru selama hampir 59 tahun masa pemerintahan Indonesia berdiri. Tapi hadirnya RKUHP itu malah menuai beragam respon dari masyarakat.

Oleh karenanya Joko Widodo Presiden melalui Menkopolhukam perlu mengadakan dialog terbuka bersama dengan akademisi, ormas, dan masyarakat sipil. Agar sebuah hukum bisa menjadi cerminan pelayanan bagi masyarakat itu sendiri.

“Itu sebabnya, kita bertemu hari ini dalam dialog publik RKUHP untuk mencapai kesepahaman dan formulasi yang lebih pas atas rancangan yang sudah dihasilkan ini” tegas Mahfud.

Sementara itu, Pujiyono Dosen Ahli Hukum Pidana Universitas Diponegoro yang menjadi narasumber dalam diskusi publik itu menjelaskan secara rinci setiap pasal yang menuai kritik di RKUHP.

Kata Pujiyono, saat masyarakat ingin mengkritik isi Pasal RKUHP itu harus memahami konsep ide yang ada di dalamnya. Tak hanya itu dirinya bersama dua narasumber lain juga sangat terbuka menerima kritik dan masukan dari masyarakat.

“Harapannya ada pemahaman dari masyarakat dari setiap pasal yang mereka kritik, dan mengapa pasal itu masih dipertahankan,” katanya.

Salah satu pasal yang ramai diperbincangkan dalam dialog publik itu salah satunya adalah pasal penghinaan Presiden.

Secara garis besar, Pujiyono dalam forum itu menjelaskan terkait perbedaan kritik dan penghinaan secara harfiah menurut pandangan hukum.

“Masyarakat tidak perlu khawatir dalam pasal Penghinaan Presiden yang dilarang bukanlah melayangkan kritik, namun melarang penghinaan secara personal yang tidak berkaitan dengan masalah negara,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, mulai pekan ini Kemenko Polhukam menyelenggarakan diskusi publik untuk menampung aspirasi dan masukan masyarakat tentang RKUHP. Diskusi berlangsung di 11 kota, salah satunya di Surabaya.(wld/des/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs