Megawati Soekarnoputri Presiden Ke-5 RI mengisahkan dialognya dengan mantan George Bush Junior Presiden Amerika Serikat (AS) terkait rencana negara itu menyerang Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Kisah itu disampaikan Megawati saat menjelaskan pentingnya ide membangun tata dunia baru yang disampaikan Soekarno Proklamator RI, serta kebutuhan reformasi di PBB.
Hal itu disampaikan Megawati saat memberikan sambutan secara virtual dalam opening ceremony acara ‘Bandung-Belgrade-Havana in Global History and Perspective’, di Gedung Arsip Nasional (ANRI), Jakarta Selatan, Senin (7/11/2022).
Awalnya, Megawati mengatakan bahwa gerak mewujudkan Tata Dunia Baru yang bebas dari segala bentuk penjajahan, tidak pernah mengenal kata akhir. Satu tahun sebelum Gerakan Non Blok, Soekarno Proklamator RI menyampaikan pidato di PBB yang dikenal dengan sebutan “To Build The World A New”, atau Membangun Tata Dunia Baru.
Pidato itu mendapatkan standing ovation dari politisi internasional yang bermakna sebuah penghargaan yang luar biasa. Artinya, apa yang dikatakan Soekarno di dalam pidatonya diterima oleh banyak kalangan di dunia ini.
Tapi persoalannya, kata Megawati, bagaimana mewujudkan apa yang diminta oleh Bung Karno itu. Bung Karno dengan gamblang mengusulkan restrukturisasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lalu usul memindahkan Markas PBB ke negara netral, di luar wilayah ketegangan Perang Dingin pada waktu itu. Dan mengusulkan perubahan Piagam PBB dengan memasukkan prinsip-prinsip Pancasila.
Menurut Megawati, kesetaraan antarnegara itu belum terwujud di PBB. Dari satu contoh kecil saja, soal iuran negara ke PBB, yang pernah ditanyakannya langsung ke Sekjen PBB. Dijawab bahwa negara besar praktis memberikan bantuan lebih besar. Dengan begitu, tentunya wewenang negara besar jadi seakan lebih besar.
“Jadi negara besar, praktis itu yang memberikan bantuan yang lebih besar. Nah yang lain tentu seperti apa jadinya, seperti tidak ada kesamaan, tidak ada kesetaraan,” kata Megawati.
Bung Karno juga menegaskan bahwa masa depan dunia tidak boleh ditentukan hanya oleh negara yang memiliki Hak Veto di PBB. Setiap bangsa harusnya diberi kehormatan yang sama.
“Berbagai perubahan fundamental atas lembaga dunia PBB tersebut sangat diperlukan karena Perserikatan Bangsa-Bangsa dinilai sudah tidak mampu meredam konflik. Padahal kan sebenarnya, kalau bisa yang memutuskan itu PBB,” kata Megawati.
Dia lalu memberi contoh bagaimana dialognya dengan George W. Bush Jr. Presiden Amerika
Bush mengatakan akan menyerang Irak dengan cara kilat. Megawati menjawab AS seharusnya mendapatkan izin dari PBB.
Megawati lalu mempertanyakan maksud serangan kilat oleh AS ke Irak.
“Yang namanya kilat itu apa ya kalau dari strategi militer?” itu yang saya tanya. ‘Satu jam kah, satu hari kah, seminggu kah, sebulan kah?’ Jadi kata Presiden George Bush pada saya, katanya begini, ‘Kamu itu kok pintar ya Mega’. Saya diam saja, terus saya tanya, “kok kamu bilang begitu?” beber Megawati.
“Saya kan mesti tahu dong, ini juga karena saya harus juga berbicara mengenai Pancasila dan juga dengan Dasa Sila Bandung-nya, karena saya berkewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia, karena saya tidak setuju bahwa sebuah negara akan melakukan sebuah penyerangan. Itu kayanya idenya seperti zaman Jerman mengatakan Blitzkrieg, perang cepat. Saya pikirnya begitu,” jelasnya.
“Tapi kan pada keadaannya ternyata waktu itu beliau agak sedikit marah, dia bilang begini, “Kamu selalu bela Saddam Husein?”. Saya nggak bela Saddam Husein, saya bela rakyat Irak, yang pasti apapun juga kan menderita. Jadi kalau kamu berpikir bahwa kamu nggak cocok dengan Saddam Husein, sudahkah ada ahli Islam-mu yang harusnya menerangkan, Saddam Husein itu siapa” saya bilang begitu,” kata dia.
“Tapi akhirnya tetap saja toh diserang,” tegas Megawati.
Dari contoh itu, Megawati menilai, wajar jika dianggap PBB tidak bisa lagi meredam konfli. Apalagi dengan makin meningkatnya teknologi, termasuk sebagai ancaman senjata pemusnah.
“Jadi, alatnya itu harus cepat dan akibatnya massal, seperti kita tahu Hiroshima-Nagasaki itu percobaan, tapi telak ya dan sampai hari ini dampaknya masih sangat terlihat. Seperti apa rakyat Jepang yang tidak berdosa harus menerima penderitaannya, akibat radiasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Megawati mengatakan struktur PBB dianggap sudah tidak relevan, karena struktur Dewan Keamanan PBB tidak sesuai lagi dengan cara pandang seperti pada tahun 1960 di mana solidaritas, kerja sama antar bangsa, dan pembangunan ekonomi lebih dikedepankan.
“Tidak lagi melihat siapa kamu, siapa dia, kamu harusnya begini, sana harusnya begitu. Sehingga, umat manusia itu juga bisa bersama. Jadi saya berkeyakinan bahwa apa yang telah disampaikan oleh Bung Karno sebagai Bapak Bangsa itu, pikirannya itu lho sampai begitu multi dimention. Dia ikuti dan itu tentu perasan, gemblengan waktu keluar-masuk penjara, dibuang dan lain sebagainya juga bukan berarti mengecilkan founding fathers yang lain, tidak. Tapi kan kelihatan ekstraksinya, sehingga bisa memberikan sebuah jalan pikir,” beber Megawati.
Tapi anehnya, lanjut Megawati, kebesaran seorang Soekarno di dunia itu, justru hilang di Indonesia. Yakni ketika sejak 1965 terjadi de-Soekarnoisasi.
“Bayangkan, sampai saya pikir aduh sayang banget ya, sebuah pikiran-pikiran dari orang yang dilahirkan di dunia ini, diabaikan oleh bangsanya begitu saja. Kita lalu pemikir-pemikir katanya, pengamat politik, itu sampai ambillah dari luar negeri. Saya pikir lucu deh orang Indonesia ini. Saya cuma suka berpikir begitu saja, padahal ada mutiara, kupikir. Ini diabaikan sekian tahun oleh bangsa Indonesia. (Padahal) This is history, our nation history,” pungkasnya.(faz/rst)