Sabtu, 23 November 2024

Jokowi Effect Belum Signifikan Mendongkrak Elektabilitas Bakal Calon Presiden pada Pemilu 2024

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Jokowi Presiden memberikan arahan kepada menteri, kepala lembaga dan kepala daerah dalam forum Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, Jumat (25/3/2022), di Nusa Dua, Bali. Foto: Biro Pers Setpres

Hasil survei yang dirilis Development Technology Strategy (DTS) Indonesia menyebutkan dukungan Joko Widodo Presiden kepada kandidat calon presiden (capres) untuk Pemilu 2024 tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan elektabilitas.

Berdasarkan survei itu, Jokowi effect tidak signifikan mendongkrak tingkat keterpilihan kandidat capres 2024 karena faktor kepentingan.

“Tentu Pak Jokowi harus memelihara keberlangsungan program yang dia canangkan, dan juga harus ‘investasi’ hubungan baik dengan siapa pun yang berpotensi menang di Pilpres 2024. “ kata Gun Gun Heryanto Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Senin (25/7/2022).

Menurutnya, Jokowi tidak pernah secara gamblang menyebutkan akan mendukung bakal calon tertentu. Bahkan, dia menilai Jokowi tidak akan buka suara sampai hari H Pemilu, 14 Februari 2024.

“Di belakang panggung, Jokowi akan menentukan konsolidasi politik dalam Pilpres 2024. Komunikasi tersamar yang dilakukan Pak Jokowi menyebabkan Jokowi effect sampai sekarang tidak terlalu terasa dukungan kepada salah satu nama calon,” jelasnya.

Dalam survei tersebut, tiga nama calon kandidat teratas adalah Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

Dengan atau tanpa endorse dari Jokowi, elektabilitas dan popularitas mereka bergerak dinamis. Namun, masih ada sejumlah kandidat yang elektabilitasnya naik perlahan menjelang pemilu mendatang.

Gun Gun menyebut, ada dua gaya yang disukai masyarakat indonesia. Presiden Jokowi unggul pada pemilu 2014 dan 2019 dengan gaya equalitarian yang merangkul, turun ke bawah, gampang dicerna.

Sementara sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan gaya destructuring style yang rapi dan terorganisir.

“Posisi itu akan terulang di 2024. Nanti akan ada pertarungan dua gaya tersebut,” katanya.

Masih erkait dengan hasil survei Development Technology Strategy (DTS) Indonesia yang menunjukkan pembentukan koalisi dini partai-partai belum berdampak merata kepada elektabilitas anggota koalisi, menurut

Sementara itu, Ray Rangkuti Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia menyebut, hasil survei DTS Indonesia memperkuat terminologi politik di Indonesia yaitu elektabilitas partai ditentukan oleh partai dengan segala aktivitasnya.

Dia juga menyarankan koalisi partai politik segera mengambil langkah pendekatan untuk mengusung seorang calon. Misalnya seperti Koalisi Indonsia Bersatu (KIB) yang belum menetapkan satu nama tapi KIB sudah menunjukkan gelagat pada calon tertentu.

Menurut Ray, KIB harus memperjelas kecenderungan nama calon. Sebelumnya, KIB disebut akan menggaet Ganjar Pranowo. Tapi, dia melihat hal itu masih belum cukup kuat.

“Temuan DTS itu memberi sinyal yang kuat kepada koalisi kalau mereka tetap ngotot mencalonkan orang yang tidak begitu populer di tengah masyarakat. Risikonya, bukan saja calon mereka tidak terpilih tapi partainya mereka juga drop,” tambah Ray.

Sebaliknya, ketika partai mengajukan nama calon presiden yang populer di tengah masyarakat, memang ada kemungkinan terpilih atau tidak. Namun, hal itu dapat berimplikasi pada kenaikan suara partai.

“Jadi, misalnya kalah di pilpres tapi kan setidaknya di pileg masih dapat suara,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs