Prof Hikmahanto Juwana Pakar Hukum Internasional menyayangkan sikap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang bertolak belakang dengan peryataan Joko Widodo (Jokowi) Presiden dalam memandang konflik Rusia Vs Ukraina.
Kemenlu dinilai cenderung menyalahkan Rusia sebagai negara agresor telah menganeksasi Ukraina. Dikhawatirkan, pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman penilaian publik.
“Tentu saya sangat sayangkan pernyataan dari Kemlu yang mengatakan bahwa serangan terhadap Ukraina, meskipun tidak menyebut Rusia, itu tidak dapat diterima. Karena bagi Rusia tentu apa yang disampaikan oleh Kemlu dianggap berpihak kepada Ukraina dan tidak berpihak pada Rusia,” ujar Hilkmahanto yang juga guru besar UI dalam Gelora Talk bertajuk ‘Perang Rusia Vs Ukraina, Apa Dampaknya Pada Peta Geopolitik Dunia?’, Rabu petang (2/3/2022).
Oleh karena itu, Hikmahanto berharap bahwa ini diperbaiki dan tetap berpedoman pada apa yang disampaikan oleh Jokowi Presiden yaitu stop perang. Perang harus dihentikan tanpa menyalahkan Rusia dan Ukraina, serta meminta konflik diselesaikan secara damai, dan tidak membahayakan pada keamanan dan perdamaian internasional.
“Jadi Indonesia harusnya menjadi fasilitator, yang bisa memberikan solusi bagi konflik ini. Kita harus fokus pada rakyat, karena rakyat tidak boleh menderita akibat perang di kedua negara,” kata Hikmawanto.
Dia mengingatkan, agar Indonesia tidak melihat konflik Rusia Vs Ukraina sebagai konflik antara pemerintah pusat (PBB) dan pemerintah daerah (Rusia-Ukraina).
“Efektifitas terhadap PBB ini diragukan, dan perlu diingat bapak/Ibu sekalian, bahwa PBB ini bukan pemerintahannya. Artinya, tidak seperti pemerintah pusat, kalau misalnya ada pemerintah daerah bersengketa, kemudian pemerintah pusat bisa turun. Mereka punya main street sendiri, itu yang harus kita pahami,” katanya.
Artinya, dalam konteks hukum internasional, lanjut Hikmawanto, bagi masyarakat internasional yang berlaku adalah Hukum Rimba, bukan norma-norma hukum internasional yang harus ditaati.
“Yang berlaku Hukum Rimba, siapa yang kuat sebagai justifikasi hukum internasional, bukan norma yang harus ditaati. Ini akan menjadi justifikasi setiap negara untuk mengambil tindakan,” tegas pakar hukum internasional Universitas Indonesia.(faz/man/ipg)