Fahri Hamzah Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora Indonesia) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tidak Independen telah menjadi korban sebuah permainan politik.
Kata Fahri, sejauh ini sudah ada 30 gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu yang ditolak MK.
“MK itu korban permainan politik, jadi saya tidak terlalu tertarik untuk menuntut Mahkamah Konstitusi terlalu banyak,”” ujar Fahri Hamzah dalam diskusi secara daring dengan tema ‘Menyoal Putusan MK atas UU Pemilu: Pilihan Rakyat Makin Terbatas’, Rabu (13/7/2022) sore.
Fahri melihat ada aktor-aktor politik yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara menyandera MK.
“Saya katakan kalau MK itu korban, saya bisa katakan ini karena saya pernah menjadi politisi, paham sekali permainan politik seperti ini,” tegasnya.
Untuk itu, Fahri mendesak agar MK perlu di reformasi karena banyak keputusannya yang melenceng, padahal MK itu didirikan untuk menjaga konstitusi.
“MK sekarang perlu di reformasi. Kita ini terlalu romantis, sudah 30 kali ditolak, kalau sudah 30 kali, ya MK sudah disandera terus oleh politisi. Maka politisinya kita tumbangkan,” ungkap Fahri.
Sementara itu, Fajar Laksono Soeroso Juru Bicara MK RI menjelaskan, soal uji materi yang mempersoalkan keserentakan Pemilu sudah dipertimbangkan dalam putusan-putusan sebelumnya, seperti Putusan No.14 Tahun 2013 dan No.55 Tahun 2019.
“Jadi MK sudah punya penafsiran sendiri, kalau pemisahan Pemilu itu inkonstitusional, sementara yang serentak itu konstitusional. Keputusan itu sudah jelas, sehingga MK tidak perlu lagi mendengar keterangan ahli dan saksi, karena sudah memiliki penafsiran soal Pemilu Serentak,” kata Fajar.
Putusan MK tersebut, kata Fajar, juga diperkuat dalam ketentuan pasal 54 UU No.7 Tahun 2020 yang memungkinkan Hakim Konstitusi tidak perlu mendengar keterangan ahli dan saksi ahli lebih lanjut, karena sudah memiliki pendirian yang jelas. (faz/rst)