Fadli Zon anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra mengatakan, banyak suara yang yang mendesak pencabutan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT). Melalui Permenaker tersebut Pemerintah menetapkan bahwa pencairan dana JHT secara penuh baru bisa dilakukan sesudah peserta mencapai usia 56 tahun.
Padahal, kata Fadli, pada aturan sebelumnya, manfaat JHT dapat diberikan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu satu bulan.
“Kalangan buruh tentu saja menolak perubahan itu, karena dinilai memberatkan. Saya lihat, mayoritas fraksi di parlemen, mayoritas pendapat publik juga telah menyampaikan penolakannya terhadap peraturan tersebut. Aturan itu dianggap menzalimi kepentingan kaum buruh,” ujar Fadli dalam keterangannya, Selasa (22/2/2022).
Karena besarnya penolakan masyarakat tersebut, Fadli menilai, tidak ada alasan bagi Presiden untuk mengabaikannya.
“Permenaker No. 2 Tahun 2022 sebaiknya memang segera dicabut agar tidak menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar,” jelasnya.
Menurut Fadli, ada beberapa alasan kenapa Permenaker itu bisa dianggap telah menzalimi kaum buruh. Di antaranya, filosofi JHT sebenarnya adalah tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tidak lagi bekerja, atau tidak lagi menerima upah. Sehingga, teorinya, saat seseorang tidak lagi menerima upah, maka dia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya.
“Nah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 secara sepihak telah memaksa kaum buruh untuk menunda pencairan tabungan tadi hingga mencapai usia 56 tahun. Padahal, di sisi lain, Pemerintah sendiri tidak bisa memberikan jaminan bahwa kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya, hingga mencapai usia tersebut. Ini kan zalim,” tegas Fadli.
“Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja di sektor formal, apakah mereka harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun kemudian untuk mencairkan uangnya sendiri?” ujar Fadli bertanya-tanya.
Fadli menjelaskan, pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
“Lho, JHT ini adalah ‘asuransi sosial’ bagi orang yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja. Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini, selain zalim, juga aneh,” kata Fadli.
Menurut Fadli, kebijakan ini dirumuskan Pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu atau dengan stakeholder terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI.
“Proses perumusannya saja sudah tidak fair dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa ‘fair’ jika begitu?!” ungkapnya.
Namun, selain soal tidak transparan, tidak fair, serta zalimnya peraturan tersebut terhadap kaum buruh, Fadli melihat ada persoalan lain yang perlu diperhatikan juga, yaitu kenapa Pemerintah tiba-tiba mengubah peraturan mengenai JHT di tengah situasi pandemi.
Merujuk data BPS (Badan Pusat Statistik), pada tahun 2021 terdapat 21,32 juta orang, atau 10,32 persen penduduk usia kerja, yang terdampak Covid-19. Dari jumlah tersebut, penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 jumlahnya mencapai 17,41 juta orang, sementara 1,82 juta orang menjadi pengangguran karena Covid-19, dan 1,39 juta tidak bekerja karena Covid-19.
Menghadapi situasi tersebut, lanjut Fadli, bisa dipastikan telah terjadi kenaikan klaim terhadap dana JHT. Kasus ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Semua negara juga mengalami hal serupa, di mana klaim terhadap asuransi ketenagakerjaan telah meningkat karena situasi pandemi.
“Kalau kita baca laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020, karena yang terbaru belum tersedia, jika dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah klaim pencairan JHT pada tahun 2020 memang mengalami kenaikan 22,2 persen. Dari data yang sama kita bisa melihat bahwa pencairan klaim JHT di bawah usia 56 tahun telah meningkat sebesar 15,22 persen. Angka ini mewakili jumlah kasus PHK di bawah usia 56 tahun yang terjadi sepanjang periode 2019 hingga 2020, atau akibat pandemi Covid-19,” kata dia.
Menurut Fadli, kenaikan klaim JHT akibat pandemi ini telah menekan arus kas BPJS Ketenagakerjaan, sehingga Pemerintah kemudian segera merilis peraturan yang mengubah mekanisme pencairan JHT.
“Apalagi, kita juga membaca pernyataan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, bahwa hasil investasi dana jaminan sosial JHT sepanjang tahun 2021 mencapai Rp24 triliun, namun di sisi lain jumlah klaim yang dibayarkan mencapai Rp37 triliun. Kalau diasumsikan bahwa pembayaran klaim JHT dilakukan menggunakan hasil investasi, maka untuk tahun lalu saja ada defisit yang sangat besar, yaitu mencapai Rp13 triliun,” jelas Fadli.
“Pertanyaannya kemudian, bagaimana defisit itu ditutupi? Apakah klaim JHT tahun 2021 ditutupi oleh iuran JHT tahun tersebut? Kalau begitu, berarti telah terjadi praktik ‘gali lubang tutup lubang’ di BPJS Ketenagakerjaan,” imbuhnya.
Jika itu yang terjadi, selain faktor kezaliman terhadap kaum buruh, Fadli juga melihat ada persoalan serius dalam soal manajemen investasi dana JHT yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang harus segera dibenahi.
Fadli mengatakan, kalau menyimak penjelasan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada obligasi dan surat berharga, di mana 92 persen di antaranya merupakan Surat Utang Negara (SUN), 15 persen ditempatkan pada deposito yang 97 persennya berada pada Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD), 12,5 persen disimpan pada saham yang didominasi pada saham blue chip, yang termasuk dalam indeks LQ45, 7 persen diinvestasikan pada reksa dana, di mana reksa dana tersebut berisi saham-saham blue chip yang juga masuk dalam LQ45, dan terakhir, sebanyak 0,5 persen ditempatkan pada properti dengan skema penyertaan langsung.
“Dengan struktur investasi semacam itu, maka bisa dikatakan sebagian besar tabungan para pekerja dalam JHT tadi telah digunakan untuk menopang keuangan negara. Dan dengan Permenaker No. 2 Tahun 22, menghadapi gelombang-gelombang PHK akibat pandemi, alih-alih mendistribusikan risiko, Pemerintah telah menempatkan buruh sebagai pihak yang harus ‘membayar’ risiko krisis,” tegasnya
Karena dilarang untuk mencairkan tabungan JHT-nya, lanjut Fadli, secara tidak langsung buruh sedang dipaksa untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Sementara stabilitas kebutuhan ekonomi mereka sendiri jika terkena PHK sama sekali tidak diperhatikan Pemerintah.
“Sebagai catatan, melalui omnibus law Cipta Kerja, Pemerintah telah mencabut beban pesangon yang harusnya ditanggung pengusaha ke asuransi PHK yang disebut JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan). Tetapi, meskipun Peraturan Pemerintah (PP) tentang JKP sudah diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Februari 2021, melalui PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, namun sampai sekarang peraturan pelaksana dan sosialisasinya masih nihil,” ujarnya.
Selain itu, kata Fadli, skema kasar JKP juga sangat tidak memadai. Sebab, buruh hanya bisa menerima 45 persen dari upah sebelumnya selama tiga bulan, serta 25 persen saja pada masa tiga bulan sesudahnya.
“Jadi, skema ini hanya memberikan bantuan untuk masa 6 bulan saja. Padahal, tidak ada jaminan apapun setelah 6 bulan orang bisa mendapatkan pekerjaan kembali,” ungkapnya.
“Jadi, di atas kertas, saat ini, jika buruh kehilangan pekerjaan, satu-satunya harapan mereka sebenarnya hanya tinggal JHT saja. Sehingga, jika pencairan JHT dipaksakan harus menunggu hingga usia 56 tahun, saya setuju menganggap ini sebagai bentuk kezaliman,” imbuhnya
Jika kebijakan ini tidak segera ditarik, Fadli khawatir masyarakat akan mengalami demoralisasi terhadap sistem jaminan sosial. Sesudah kisruh Jiwasraya, Asabri, serta kisruh tata kelola iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah akan semakin kesulitan meyakinkan masyarakat bahwa asuransi sosial itu penting.(faz/dfn/rst)