DPD RI menyayangkan tingginya kasus gagal ginjal akut yang menelan korban jiwa di kelompok anak-anak. Adanya kasus gagal ginjal akut tersebut menunjukkan sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia masih lemah.
Pengawasan yang berada di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), seharusnya dapat mencegah munculnya kasus tersebut. Karena, dua lembaga tersebut punya wewenang menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat, mutu, serta pengujian obat dan makanan.
“Selain itu, keduanya juga memiliki kewenangan untuk melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan makanan, gagal dalam mengantisipasi potensi terjadinya fenomena gagal ginjal akut pada anak,” ucap Mahyudin Wakil Ketua DPD RI, dalam Sidang Paripurna ke-5, Rabu (2/11/2022) di Nusantara V, Komplek Parlemen.
Mahyudin dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net mengatakan, kasus itu tidak hanya berdampak pada hilangnya nyawa anak-anak Indonesia, tetapi juga sektor farmasi karena adanya zat etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirop anak.
“Kasus tersebut juga berdampak pada ekonomi industri farmasi, dimana terdapat kerugian sejumlah industri farmasi lantaran pelarangan sementara distribusi obat oleh Kementerian Kesehatan,” imbuhnya.
Meski begitu, DPD RI mengapresiasi langkah pemerintah dalam penanganan kasus gagal ginjal akut. Salah satunya terkait pelarangan konsumsi dan distribusi obat yang mengadung etilen glikol dan dietilen glikol di masyarakat. DPD RI juga mengapresiasi pemerintah yang menggratiskan biaya pengobatan penyakit gagal ginjal akut, yang dinilai dapat meringankan beban masyarakat.
Selain itu, juga langkah keterbukaan informasi publik yang dilakukan oleh BPOM RI terkait penyampaian informasi kepada publik perihal hasil penelusuran data registrasi obat, dan hasil uji laboratorium atas kandungan dalam obat-obatan di masyarakat.
“Walaupun demikian, kami meminta pemerintah untuk tetap mengawal dan melakukan pengawasan melekat terhadap peredaran obat serta mengambil langkah hukum terhadap produsen obat yang membahayakan kesehatan masyarakat,” ucap Mahyudin.
Untuk menindaklanjuti kasus tersebut, Pimpinan DPD RI pun meminta Komite III DPD RI untuk segera melakukan koordinasi dengan Kemenkes dan BPOM, terkait langkah-langkah yang telah dilakukan dalam penanganan kasus gagal ginjal akut ini.
“Khususnya terkait upaya investigasi faktor risiko penyebab kasus gagal ginjal akut, baik dari sumber obat-obatan dan potensi lainnya,” kata dia.
Selain permasalah kasus gagal ginjal akut, DPD RI juga akan mengawal komitmen pemerintah yang akan menjadikan 600.000 guru honorer untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2023 mendatang.
DPD RI berharap pemerintah segera menyiapkan seluruh kebutuhan teknis dalam rangka perekrutan PPPK dari guru honorer tersebut. Sehingga, tidak ada penyimpangan yang terjadi dalam proses seleksi PPPK tersebut.
“Dengan demikian kami harapkan guru honorer yang telah menjadi PPPK dapat berkontribusi terhadap dunia pendidikan Indonesia untuk menghasilkan generasi unggul,” pungkas Mahyudin. (bil/ipg)