Fadli Zon Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI mengatakan, menjelang pergantian tahun 2022, masyarakat menyaksikan munculnya sebuah fenomena menarik terkait proyeksi ekonomi-politik tahun depan.
“Jika biasanya para pejabat berlomba melontarkan ramalan bernada positif dan optimistis di akhir tahun, maka akhir tahun ini justru para pejabat negara kita, terutama Presiden dan Menteri Keuangan, seperti berlomba menyampaikan ramalan muram,” ujar Fadli dalam Catatan Ekonomi Akhir Tahun 2022, Sabtu (31/12/2022).
Pada saat yang sama, kata dia, para pengamat yang biasanya melontarkan proyeksi kritis bernada muram, kini justru seperti berlomba menyampaikan pendapat bahwa situasi tahun depan tidaklah seburuk sebagaimana yang telah diramalkan pemerintah.
“Ini tentu saja fenomena menarik. Ada yang menilai berbagai pernyataan muram mengenai situasi ekonomi tahun depan sebagaimana dilontarkan beberapa pejabat pemerintah sebenarnya bersifat politis,” jelasnya.
Pernyataan-pernyataan itu, lanjutnya, sengaja dilontarkan sebagai bentuk ‘pretext’ agar agenda menunda pelaksanaan Pemilu 2024 serta memperpanjang kekuasaan pemerintahan saat ini bisa terus mendapatkan peluang.
Di sisi lain, pernyataan-pernyataan bernada lebih optimistik yang dilontarkan para pengamat mengenai situasi tahun depan juga bersifat “politis”, yaitu untuk menolak munculnya peluang agenda perpanjangan kekuasaan tadi. Meskipun niat tersebut sebenarnya baik, yaitu untuk mencegah praktik politik kita melenceng dari koridor demokrasi dan konstitusi, namun di sisi lain nada “optimis” tersebut juga problematis, karena sama-sama menyembunyikan penilaian obyektif mengenai situasi ekonomi sebenarnya tahun depan.
Jadi, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Fadli menjelaskan kalau saat ini dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Ancaman resesi ekonomi di sejumlah negara, masih terhambatnya pasokan energi dunia, harga pangan dan pupuk yang terus melonjak, naiknya inflasi serta suku bunga tinggi, tentu saja akan mempengaruhi dan memukul proses pemulihan ekonomi Indonesia.
Fadli mencatat ada beberapa isu ekonomi sepanjang tahun 2022 yang penting untuk digarisbawahi.
Pertama, pertumbuhan ekonomi kita tidak cukup kuat menopang pemulihan. Apalagi, kita akan kembali mengalami perlambatan pada tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi kita memang mengalami tren pertumbuhan di atas 5 persen sejak kuartal I-2022. Berturut-turut pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2022 adalah 5% (kuartal I-2022), 5,4% (kuartal II-2022), dan 5,7% (kuartal III-2022). Terus meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi ini didorong adanya pelonggaran aktivitas masyarakat yang stabil pasca-melandainya kurva pandemi Covid-19. Pelonggaran tersebut telah meningkatkan kembali aktivitas ekonomi domestik. Di sisi lain, kita juga diuntungkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas.
“Sayangnya, pertumbuhan yang didorong kinerja ekspor komoditas ini tidak bertahan lama. Di tengah meningkatnya ketidakpastian global, harga komoditas juga kembali melemah. Sehingga, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 kembali turun, dan menurut perkiraan Bank Dunia hanya akan menghasilkan pertumbuhan tahunan sekitar 5,2 persen saja. Itupun pada tahun 2023 mendatang angka pertumbuhan diprediksi akan terus melemah jadi 4,8 persen,” ungkapnya.
Meskipun positif, namun capaian pertumbuhan 5,2 persen selama setahun ini sebenarnya tak cukup memadai untuk bisa disebut sebagai “telah terjadi pemulihan”. Kontraksi ekonomi pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020, serta pertumbuhan rendah pada 2021, telah memberi “low baseline” yang cukup dalam. Agar bisa pulih, kita sebenarnya membutuhkan pertumbuhan ekonomi setidaknya 7 persen hingga tahun 2025.
Kedua, kata Fadli, tingkat kemiskinan belum pulih ke level sebelum pandemi. Jumlah penduduk miskin per Maret 2022 tercatat sebesar 26,20 juta orang, dan tingkat kemiskinan masih sebesar 9,54 persen. Angka ini belum kembali ke kondisi September 2019, ketika jumlah penduduk miskin “hanya” sebesar 24,79 juta orang dan tingkat kemiskinan sebesar 9,22 persen.
Ketiga, Indonesia kian terjebak pada middle income trap. Pada tanggal 1 Juli 2020, di tengah-tengah pandemi, Bank Dunia sempat menaikkan peringkat Indonesia dari lower middle income country menjadi upper middle income country. Namun, pada 2021 silam, peringkat kita kembali turun menjadi lower middle income country, posisi yang sudah kita duduki sejak tahun 1986.
Secara umum middle income trap adalah keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah (lower middle income), namun tidak bisa keluar dari tingkatan tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan sama sekali gagal bertransformasi menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi (high income country).
Indonesia berpeluang besar terjebak pada posisi middle income trap, mengingat saat ini kita sudah 35 tahun berada pada kategori lower middle income. Sebagai pembanding, Malaysia hanya membutuhkan waktu 27 tahun (1969-1996) untuk naik kelas dari posisi lower middle income country menjadi upper middle income, Thailand membutuhkan waktu 28 tahun (1976-2004), Taiwan membutuhkan waktu 19 tahun (1967-1986), Korea Selatan membutuhkan waktu 19 tahun (1969-1988), dan Cina bahkan hanya membutuhkan waktu 17 tahun (1992-2009).
“Untuk bisa keluar dari posisi middle income trap, pendapatan nasional perkapita kita harus bisa tumbuh di atas 5 persen. Bahkan dalam beberapa kajian, Indonesia diperkirakan baru akan bisa keluar dari middle income trap apabila pertumbuhan ekonominya di atas 6 persen setidaknya selama 17 tahun berturut-turut, sebuah keadaan yang sulit sekali kita capai,” ungkapnya.
Keempat, menurut Fadli, Indonesia gagal menundukkan ancaman inflasi. Selama ini pemerintah selalu membanggakan diri atas rendahnya inflasi. Inflasi tahunan memang hanya berada di kisaran 3 persen sejak tahun 2015. Bahkan, dua tahun terakhir bahkan tercatat di bawah 2 persen, yaitu 1,68 persen (2020) dan 1,87 persen (2021).
Tetapi, kenaikan tajam harga BBM bersubsidi pada September lalu telah membuat inflasi melonjak. Inflasi November 2022 (year on year) mencapai 5,42 persen dan inflasi tahun kalender diperkirakan sebesar 4,82 persen.
“Meskipun kenaikan inflasi masih di bawah 5 persen, namun di tengah situasi seperti sekarang ini, kenaikan sebesar itu sangat memberatkan masyarakat. Apalagi, mereka baru bisa kembali menarik nafas sesudah dihantam pandemi,” tegasnya.
Kelima, melonjaknya rasio utang. APBN Indonesia saat ini sangat tergantung kepada utang. Sebagai catatan, rasio utang luar negeri atas PDB kita telah meningkat dari 30,2 persen pada 2019, menjadi 38,36 persen pada 2022. Rasio ini jauh lebih tinggi daripada rasio rata-rata negara berpendapatan menengah yang berada di kisaran 29 persen. Kenaikan rasio utang yang sangat besar ini jelas memberikan risiko tinggi.
Dan keenam, kata Fadli, memburuknya hubungan pusat dengan daerah. Pernyataan keras yang dilontarkan oleh Bupati Meranti kepada jajaran Kementerian Keuangan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) migas, yang telah ditanggapi secara tidak proporsional oleh pemerintah pusat, menurut saya menggambarkan hubungan yang tidak bagus antara pemerintah pusat dengan daerah. Dan ini sangat berbahaya.
Dalam Rakornas Optimalisasi Pendapatan Daerah yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, pada awal Desember lalu, Bupati Meranti memprotes daerahnya hanya menerima DBH sebesar Rp115 miliar, atau hanya naik Rp700 juta, padahal harga minyak dunia naik cukup besar dari US$60 menjadi US$100 sebagai imbas perang Rusia-Ukraina. Meski protes tersebut sempat dibantah dengan berbagai dalih, Pemerintah akhirnya mengakui ada selisih bayar harga minyak, di mana Kabupaten Meranti akan mendapatkan penambahan DBH akibat kenaikan harga minyak.
“Isu ekonomi semacam ini, jika tidak disikapi secara bijak dan hati-hati oleh pemerintah pusat, bisa jadi bumerang secara politik,” terangnya.
Fadli yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra mengatakan, tahun depan, dari sejumlah laporan dan kajian yang saya baca, mendung ekonomi memang masih akan terus bergayut. Ekonomi Indonesia diperkirakan akan dipenuhi ketidakpastian, terutama akibat dari kenaikan harga pangan dan BBM terhadap rumah tangga dan bisnis. Perekonomian kita tahun depan juga masih dibayangi dengan risiko eksternal di negara maju serta pemulihan ekonomi Cina yang lebih lemah dari perkiraan.
“Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, perlambatan ekonomi Cina terbukti telah melemahkan ekspor kita, karena turunnya permintaan ekspor dari Cina. Padahal, pertumbuhan ekonomi Cina tahun depan diprediksi akan terus melandai,” ujar Fadli.
Namun, meskipun secara obyektif kondisi kita tahun depan masih akan terus dihantui mendung, namun kondisi itu tidak sepantasnya dijadikan ‘pretext’ bagi wacana-wacana anti-demokrasi seperti perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan Pemilu. Tahun depan, situasi ekonomi memang buruk. Namun, menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden adalah pilihan buruk yang hanya akan memperburuk keadaan.(faz/iss)