Hidayat Nur Wahid (HNW) Wakil Ketua MPR RI mengajak masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengingat dan mempelajari sejarah perjuangan para pahlawan dengan mengenal dan mendalami benda-benda peninggalan para pahlawan.
Di antaranya seperti rumah pengasingan yang digunakan penjajah untuk mengisolir dan memutus hubungan para pejuang dengan pejuang lainnya.
Salah satu rumah pengasingan yang digunakan penjajah Belanda mengisolir para pejuang kemerdekaan itu adalah Pesanggrahan Wisma Menumbing, Muntok, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung.
Di tempat itu, kata HNW, Bung Karno pernah menjalani masa sunyi sebagai tahanan politik.
Selain Soekarnoz Belanda juga pernah menempatkan Bung Hatta (wakil presiden), Agus Salim (menteri luar negeri), RS Soerjadarma (kepala angkatan udara), Sutan Sjahrir (mantan perdana menteri), MR Asaat (ketua KNIP) dan AG Pringgodigdo (mensesneg) di rumah pengasingan itu.
“Dengan mempelajari serta mengenali benda-benda sejarah peninggalan para pejuang, kita dapat merasakan betapa berat perjuangan dan pengorbanan mereka dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan. Sehingga kita bisa menghargai dan menghormati pengorbanan para pejuang. Dan melanjutkan semangat mereka mengisi kemerdekaan,” katanya.
Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid secara daring pada Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, kerja sama MPR dengan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Bangka Belitung.
Acara itu berlangsung di Aula Kantor Walikota Pangkal Pinang Jl. Basuki Rahmat, Bukitintan, Kecamatan Girimaya, Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (13/11/2021).
Selain HNW, Anggota MPR RI F-PKS Ahmad Syaikhu menjadi nara sumber pendamping di acara itu.
Turut hadir pula acara itu, Junaidy Auli BPW PKS Sumbagsel, Ketua MPW PKS Babel Dody Kusdian, Aksan Visyawan Ketua DPW PKS Babel, Anggota DPRD Kota, Kabupaten, dan Provinsi Fraksi PKS se-Bangka Belitung.
Salah satu perjuangan berat yang dihadapi para bapak dan ibu pendiri bangsa saat itu, kata HNW, adalah ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan apakah dasar dan ideologi negara yang akan digunakan setelah memproklamirkan NKRI.
Pertanyaan yang muncul pada sidang pertama BPUPK, itu langsung menimbulkan friksi di antara dua kelompok.
Kelompok Nasionalis religius (Islam) yang diwakili Ki Bagus Hadi Kusumo, KH. Anwar Ahmad Sanusi, KH. Abdul Halim dan KH. Wahid Hasyim menyebut dasar dan ideologi yang dipakai adalah agama Islam. Karena di alam demokrasi, sangat wajar jika kelompok mayoritas memimpin.
“Pendapat itu ditentang oleh kelompok nasionalis kebangsaan. Soekarno, Moh. Hatta Supomo, dan Moh. Yamin berpendapat, Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bagusnya, dasar dan ideologi yang dipakai adalah kebangsaan,” kata Hidayat Nur Wahid yang akrab disapa HNW menambahkan.
Karena tak jua terjadi kesepahaman, maka dibentuklah panitia 9 yang diketuai Ir Soekarno setelah sebelumnya membubarkan panitia 8 yang juga mendudukkan Bung Karno sebagai Ketua.
Setelah melalui perdebatan yang panjang, panitia 9 berhasil mencapai permufakatan, dan disepakati pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Meski begitu, masih ada ganjalan pada sila pertama pada pembukaan. Kelompok Indonesia timur keberatan dengan adanya kalimat Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
“Keberhasilan pembentukan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tak lepas dari kelihaian KH. Anwar Sanusi. Ketika kelompok religius dan kebangsaan tak menemukan mufakat, Anwar Sanusi menawarkan pertemuan untuk dilakukan lobi,” ujarnya.
Esok harinya pada 22 Juni 1945, panitia 9 berhasil merampung pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Ini menunjukkan, meski berbeda-beda, tetapi dialog jalan terus, sampai ada kompromi.
“Penting bagi pemuda, khususnya generasi muda Islam mengingat pengorbanan umat Islam yang besar. Karena itu mereka harus senantiasa menjaganya, jangan sampai lengah apalagi digantikan dengan ideologi yang lain,” ujarnya.(rid/den)