Jumat, 22 November 2024

Hasto: Meski Terinspirasi AS, Pandangan Geopolitik Bung Karno Berbeda

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hasto Kristiyanto Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) menceritakan pandangan geopolitik Soekarno yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, Sabtu (4/12/2021). Foto: Istimewa

Hasto Kristiyanto Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) pandangan geopolitik Soekarno yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mengambil jalan berbeda dengan pandangan geopolitik Amerika Serikat (AS) dan Eropa, serta Blok Komunisme-Leninisme.

“Saya menyampaikan ini sesuai pesan Ibu Megawati Soekarnoputri, saat pelantikan Dewan Perwakilan Luar Negeri Partai atau DPLN PDI Perjuangan, harus diceritakan pandangan geopolitik Soekarno,” kata Hasto Kristiyanto pada pelantikan DPLN PDIP, yang dilanjutkan pendidikan kader pratama, Sabtu (4/12/2021).

Hasto memulai dengan menceritakan sejarah PDIP yang dimulai dengan pembentukan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. Tanggal 4 Juli dipilih untuk mengambil semangat perjuangan AS melepaskan diri dari kolonialisme Inggris.

Soekarno menyatakan, PNI adalah wadah pengorganisasian rakyat untuk melepaskan diri dari penjajahan.

Pada tahun 1956, Bung Karno ke AS dan bertemu Presiden Eisenhower dan menyampaikan makna dibalik pendirian PNI pada 4 Juli.

Dalam kunjungan itu, Bung Karno juga menyebut AS sebagai negara ide, perpaduan revolusioner antara Jefferson, Lincoln, dan Thomas Alfa Edison.

Tapi di situ juga Soekarno menyampaikan prinsip pandangan geopolitik Indonesia yang berbasis pembangunan persaudaraan dunia, memperjuangkan prinsip ko-eksistensi damai, dan hal itu berbeda dengan pandangan geopolitik AS dan Eropa.

AS dan Eropa mengutamakan sea power atau harus menguasai lautan. Jerman berandangan, harus survival harus terjamin dengan menguasai ruang hidup (lebensraum) yang akhirnya memicu perang dunia kedua.

Bung Karno, kata Hasto, memahami ini. Presiden pertama itu pun menegaskan, Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan sintesis dari berbagai pemikiran Barat dan Timur, serta pemikiran asli Nusantara.

“Sehingga Bung Karno memahami, penjajahan hanya menciptakan ketidakadilan dan penderitaan, yang digerakkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Semuanya bertujuan memperebutkan sumber bahan baku atau pasar bagi kepentingan perekonomian negara maju,” ujarnya.

Terbukti, terjadilah ekspansi memperebutkan bahan baku untuk kepentingan industri di Eropa. Mereka juga mencari pasar produknya.

Inggris menjadikan India bagi perluasan pasar industrinya. Belanda menguasai Indonesia untuk kepentingan lebguasaan sumber daya alam.

“Soekarno melihat realitas penjajahan yang menyengsarakan ini. Maka beliau membangun  PNI untuk mendidik dan mengorganisir rakyat. Atas dasar hal tsb DPLN juga punya tanggung jawab untuk mengorganisir WNI di luar negeri dan bersama-sama menjalankan fungsi rekrutmen, pendidikan politik, serta bertindak sebagai mata dan telinga Partai di luar negeri,” kata Hasto.

Semangat Bung Karno untuk membangun tata dunia baru yang bebas dari penjajahan dan menggelorakan kepemimpinan Indonesia bagi dunia harus menjadi spirit DPLN Partai.

“Politik luar negeri bebas aktif itu tidak ekspansionis. Ia berpihak pada perdamaian dunia. Pasca perang dunia II, ada konsolidasi kekuatan blok dunia atas dasar Komunisme-Leninisme dipimpin Soviet, dan kapitalisme-liberalisme oleh AS. Terjadilah perang dingin. Semua berebut pengaruh. Fenomena inilah yang kini nampak terjadi di Laut Cina Selatan”, urai Hasto lagi.

“Namun Soekarno melihat keduanya tetap memiliki benih-benih penjajahan. Makanya Bung karno, tahun 1960-an menggagas blok baru yang ingin membangun dunia tata baru bebas perang dan penjajahan, sehingga lahirlah Gerakan Non Blok,” tambahnya.

Intisari dari pandangan geopolitik serta politik bebas aktif Indonesia dan dijalankan Soekarno ini adalah politik yang berpihak pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

“Bung Karno lalu menjadikan Konferensi Asia Afrika sebagai momentum mencanangkan doktrin politik luar negeri Indonesia tersebut”, tegas Hasto.

Momentum Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung dijadikan Bung Karno untuk menggalang dukungan internasional bagi pembebasan Irian Barat. Dari 10 dasasila bandung, 7 poin adalah untuk pembebasan Irian Barat.

“Setelah KAA, Indonesia mendapat legitimasi kuat sehingga dilaksanakan Deklarasi Djuanda pada 1957. Dengan deklarasi ini, laut membungkus wilayah kepulauan kita, sehingga Indonesia adalah negara kelautan yang ditebari pulau-pulau, kata Bung Karno,” beber Hasto.

“Tanpa perang, Bung Karno membawa Indonesia memiliki wilayah yang naik 2,5 kali lipat. Ini semua dilakukan tanpa perang. Kita adalah negara kepulauan terbesar dunia, yang menatap masa depan dunia  di Pasifik,” tegasnya.

Setelah Deklarasi Djuanda, Indonesia kembali menggagas Gerakan Non Blok. Dan disana, Soekarno berhasil menyediakan persenjataan yang dibutuhkan militer Indonesia untuk pembebasan Irian Barat.

“Namun yang utama, Indonesia punya peran penting bagi kemerdekaan bangsa dunia. Maroko, Tunisia, Aljazair, Sudan, dan lain-lain. Sampai Bung Karno mendapat gelar pahlawan pembebas kemerdekaan bangsa-bangsa Islam,” pungkas Hasto.(faz/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs