Bambang Soesatyo (Bamsoet) Ketua MPR RI melihat wacana perpanjangan periodisasi jabatan presiden menjadi tiga periode, merupakan wacana yang prematur. Lagipula dari segi politik, hal tersebut juga sulit terjadi. Mengingat partai politik sudah bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.
“Di internal MPR RI sendiri, dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan MPR, tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodisasi presiden menjadi tiga periode. Rencana MPR RI melakukan amandemen terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), bukan yang lain,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (14/9/2021)
Dia menjelaskan, di Indonesia, aturan mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur secara tegas pada pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut. Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menjelaskan, untuk melakukan perubahan konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar. Mengingat persyaratannya sangat berat, sebagaimana tertuang dalam pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Di ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 dari 711 jumlah anggota MPR). Di ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (474 dari 711 anggota MPR).
“Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Artinya, satu partai saja tidak setuju dengan rencana amandemen, maka amandemen tidak bisa dilakukan,” terang Bamsoet.
Kata dia, jika merujuk referensi global, memang ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan Presiden lebih dari dua kali. Sejarah Amerika mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden AS selama 4 kali dalam periode kepresidenan 1933-1945 ketika krisis akibat Perang Dunia II. Namun pasca amandemen Konstitusi tahun 1951, Presiden AS kemudian dibatasi masa jabatannya selama 2 periode.
“Hingga saat ini, masih ada beberapa negara yang mengadopsi pemberlakuan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode. Antara lain misalnya Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok,” terang Bamsoet.
Menurut Bamsoet, sejarah mencatat Indonesia pernah melakukan penundaan Pemilu dan juga pernah melakukan percepatan Pemilu. Maklumat Mohammad Hatta Wakil Presiden pada 3 November 1945 membuat Pemilu yang seharusnya dilakukan pada Januari 1946 ditunda ke tahun 1955, mengingat ketidaksiapan dan masih adanya ancaman dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Sedangkan percepatan Pemilu pernah dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR RI pada 10-13 November 1998 yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie, mengharuskan Pemilu dipercepat dari jadwal sebelumnya pada tahun 2002 menjadi diselenggarakan pada tahun 1999,” tutur Bamsoet.
Ketua MPR menuturkan, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia adalah buah dari reformasi. Agar selalu ada penyegaran dalam setiap periodesasi pemerintahan. Dan untuk menjamin adanya kesinambungan, agar tidak setiap berganti pemerintahan berganti pula haluannya, maka kehadiran PPHN merupakan keniscyaan.(faz/iss)