Bambang Soesatyo (Bamsoet) Ketua MPR RI mengungkapkan, berdasarkan rekomendasi MPR RI periode 2009-2014, dan MPR periode 2014-2019, hasil kajian MPR periode 2019-2024 menyatakan perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bersifat filosofis dan arahan dalam pembangunan nasional.
Tujuannya, untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Hal tersebut sejalan dengan berbagai pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa Indonesia sangat memerlukan visi yang sama dalam rencana pembangunan nasional dan daerah, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang. Sehingga sistem manajemen pembangunan nasional bisa lebih demokratis, transparan, akuntabel, terintegrasi dan berkesinambungan. Sekaligus menjamin pembangunan nasional agar lebih fokus pada upaya pencapaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Bamsoet dalam pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, di Jakarta, Senin (16/8/2021).
Turut hadir secara fisik di antaranya Joko Widodo Presiden, Ma’ruf Amin Wakil Presiden, Puan Maharani Ketua DPR RI, La Nyala Mahmud Mattalitti Ketua DPD RI, Agung Firman Sampurna Ketua BPK, Muhammad Syarifuddin Ketua MA, Anwar Usman Ketua MK, dan Mukti Fajar Nur Dewata Ketua KY.
Hadir pula secara virtual di antaranya Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia Kelima, Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia Keenam, Jenderal TNI Purnawirawan Try Sutrisno Wakil Presiden Republik Indonesia Keenam, Hamzah Haz Wakil Presiden Republik Indonesia Kesembilan, Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Kesepuluh dan Keduabelas, dan Boediono Wakil Presiden Republik Indonesia Kesebelas.
Bamsoet menjelaskan, keberadaan PPHN yang bersifat filosofis sangat penting untuk memastikan potret wajah Indonesia masa depan, sekitar 50-100 tahun yang akan datang. Yang mana situasinya penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi.
“Keberadaan PPHN yang bersifat arahan dipastikan tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional baik dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),” kata Bamsoet.
Kata dia, PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis. Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan, tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat elektoral.
“PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah, seperti pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antar wilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya,” ujarnya.
Ketua MPR menekankan, untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR, sesuai dengan hasil kajian memerlukan perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Karenanya, diperlukan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN.
“Proses perubahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 sesuai Ketentuan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 memiliki persyaratan dan mekanisme yang ketat. Perubahan hanya bisa dilakukan terhadap pasal yang diusulkan untuk diubah disertai dengan alasannya. Dengan demikian perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora atau eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya. Apalagi semangat untuk melakukan perubahan adalah landasan filosofis politik kebangsaan dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik,” kata Bamsoet. (faz/iss/den)