Sejumlah tokoh politik, para pakar, dan pegiat demokrasi mengingatkan kepada para pemangku kebijakan baik birokrasi maupun penyelenggara pemilu, agar bersikap netral dalam Pilkada Surabaya 2020.
Dalam sesi diskusi bertajuk Cangkruk’an Demokrasi Sehat, Pilwali Surabaya: Netralitas dan Potensi Abuse Of Power, yang berlangsung di Hotel Mercure, Jumat (2/10/2020) itu, ASN diingatkan keras agar tidak terlibat dalam politik praktis.
“Sumpah janji mereka kan begitu ketika disumpah ASN,” ujar Agus Mahfud Fauzi pengamat politik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) salah seorang narasumber.
Agus Mahfud bilang, aturan tentang larangan keterlibatan ASN dalam politik praktis sudah sangat jelas. Tidak terlibat dalam kampanye misalnya. Bahkan, sanksinya pun sudah ada, mulai dari peringatan bahkan hingga diberhentikan.
“Kalau itu terjadi pada ASN, maka itu membahayakan pada dirinya sendiri,” ujarnya.
Selain Agus Machfud Fauzi, dalam acara yang dipandu Dhimam Abror Djuraid itu juga mendatangkan Reni Astuti Wakil Ketua DPRD Surabaya. Selain itu juga hadir, Novli Bernado Thyssen Ketua KIPP Jatim, dan Abdul Malik pakar hukum.
Reni Astuti Wakil Ketua DPRD Surabaya menilai, dalam sebuah kontestasi demokrasi, netralitas pemangku kebijakan memang akan berpengaruh terhadap kualitas yang dihasilkan nanti.
Apalagi, sekelas Pilkada Surabaya. Proses pesta demokrasi di kota pahlawan menjadi salah satu daerah yang menyita perhatian publik.
“Tentu kita semua warga Kota Surabaya sangat berharap terpilihnya pemimpin yang berkualitas, Wali Kota dan Wakil Wali Kota,” ujar wakil rakyat tersebut.
Sementara, Novli Bernado Thyssen Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur meragukan netralitas Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya dalam Pilkada Surabaya 2020.
Menurutnya, Risma dinilai banyak melakukan manuver politik untuk menyokong Eri Cahyadi-Armuji paslon nomor urut 1 yang diusung PDI Perjuangan.
“Penggunaan Taman Harmoni sebagai tempat pemberian rekomendasi Eri Cahyadi-Armuji itu sudah contoh nyata bahwa Bu Risma tidak netral,” ujarnya.
Menurutnya, Risma dinilai membuat kebijakan yang banyak menguntungkan pasangan calon Eri Cahyadi-Armuji. Hal ini sudah bertentangan dengan pasal 71 ayat 3 undang undang 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan wakilnya, Bupati dan wakilnya, dan wali kota dan wakilnya.
“Wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain terhitung sejak enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon,” katanya. (bid/ang)