Donal Fariz salah seorang tim hukum Machfud Arifin-Mujiaman Paslon Nomor urut 2 memastikan, pihaknya mengajukan permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Pilkada Surabaya 2020 hari ini Senin (21/12/2020).
Dia belum bisa merinci apa saja materi gugatan yang diajukan dan targetnya. Secara umum, pihak Machfud Arifin menilai kecurangan Pilkada Surabaya terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
“Ya mas sekarang perjalanan menuju MK, nanti kami jelaskan setelah itu,” katanya dihubungi suarasurabaya.net.
Sementara itu, kubu Eri Cahyadi-Armudji Paslon Nomor urut 1 melalui Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya mengklaim telah menyiapkan bukti dugaan pelanggaran yang dilakukan pendukung Machfud Arifin dan Mujiaman Paslon nomor urut 2 di Pilkada Surabaya 2020 kemarin.
Tomuan Sugiarto dari BBHAR DPC PDIP Surabaya mengatakan, bukti dugaan pelanggaran itu, mulai dari bagi-bagi sembako, sarung, baju, dan uang saat kampanye. Bukti-bukti dugaan pelanggaran tersebut akan dibeberkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sengketa yang diajukan kubu Machfud-Mujiaman.
“Jadi segudang bukti sudah kami siapkan. Masyarakat yang berbondong-bondong melaporkan ke kami. Mereka pun siap jadi saksi. Puluhan perkara juga sudah kita laporkan ke Bawaslu. Semuanya akan jadi senjata kita di MK,” kata Tomuan Sugiarto dari BBHAR DPC PDIP Surabaya, Senin (21/12/2020).
Tomuan menjelaskan, pembagian sembako, uang, dan sarung untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih Machfud Arifin-Mujiaman paslon no 2, menggunakan metode sistematis dan berlangsung massif.
Dijelaskan, warga penerima sembako diorganisir pengurus RT/RW dan PKK dan diminta menyertakan KTP, KK dan nomor handphone untuk pendataan. Bahkan, bagi-bagi uang, banyak ditemukan pada malam hari sebelum coblosan.
“Warga yang menerima sembako wajib melampirkan KTP Surabaya, lalu ada yang bilang datanya akan diinput dalam aplikasi,” ujar Tomuan.
Dia berharap, MK tidak perlu memproses gugatan MA-Mujiaman karena selisih suara di Pilkada Surabaya sangat tebal, yaitu hampir 14 persen, yaitu 56,94 persen dibanding 43,06 persen. Beda di antara dua kandidat itu adalah 145.746 suara.
“Andaikata kemenangan Eri-Armudji sangat tipis, misal hanya unggul 0,5 persen, perselisihan hasil Pilkada lebih rasional untuk dilakukan,” katanya.
Mengacu pada Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pilkada kabupaten/kota dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa bisa dilakukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.
Meski MK tetap membuka ruang gugatan dengan melihat bukti permulaan, kata Tomuan, gugatan Machfud-Mujiaman dinilai tidak rasional. Karena saking besarnya selisih kekalahan duet yang diusung PKS dan Partai Demokrat tersebut.
“Kalau memang selisihnya tipis, misalnya pun 0,8 persen, atau bahkan 2 persen, kemudian dinilai ada pelanggaran, masih rasional untuk disengketakan. Bagaimana membangun kerangka logika bahwa selisih tebal 14 persen atau 145.000 suara itu dituduh hasil kecurangan?” ujar Tomuan.
Tomuan percaya MK akan bersikap adil dan obyektif dengan menolak gugatan Machfud-Mujiaman. “Kami percaya majelis hakim yang mulia di MK akan menolak bila memang Machfud-Mujiaman mengajukan gugatan,” ujarnya.(bid/tin)