Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia belum menentukan sikap terkait wacana kenaikan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT) dari 4 menjadi 7 persen, dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Gelora melihat ada yang lebih urgent untuk dibahas, yakni soal pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg) serta pemilihan presiden (pilpres) secara serentak.
Demikian disampaikan Mahfuz Sidik Sekjen DPN Partai Gelora Indonesia, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/6/2020), menyikapi rencana pembahasan revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 silam, menurut Mahfuz, model pelaksanaan pemilu secara serentak Pileg dan Pilpres, tersebut justru membuat ratusan panitia penyelenggara pemilu meninggal dunia, karena faktor kelelahan. Karena itu, Partai Gelora mengusulkan agar revisi yang akan datang fokus pada pelaksanaan pilpres dan pileg.
“Itu harusnya prioritas revisi. Karena praktek yang lalu, pengalaman menunjukan kompleksnya penyelenggaraan sehingga ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Kalau PT menurut saya tidak terlalu prioritas dan tidak terlalu penting,” ujar mantan Ketua Komisi I DPR RI itu.
Meski demikian, Mahfuz secara pribadi menyampaikan bahwa menaikkan PT menjadi 7 persen akan melahirkan kecemasan di sejumlah partai politik, dan berpotensi melahirkan guncangan politik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dalam pengalaman revisi UU Pemilu, kenaikan itu dari 1,5 persen, 2,5 persen, 3 persen, kemudian 4 persen, artinya kalau ada kenaikan kisaran hanya 0,5 sampai 1 persen.
“Tapi kalau sekarang kenaikan PT melompat sampai 7 atau 8 persen, akan menciptakan kejutan dan guncangan politik pemilu,” kata Mahfud seraya meminta DPR dan pemerintah melihat dua faktor dalam penetapan PT untuk Pemilu 2024 mendatang, yakni filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik serta variabel penyederhanaan parpol.
Terkait filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik, kata Mahfuz, hal tersebut harus dilihat karena kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Sebab menurut dia, kemajemukan itu mempengaruhi pilihan politik setiap masyarakat.
“Jadi, kemajemukan harus terepresentasi secara baik dalam sistem pemilu,” jelasnya.
Sedang soal variabel penyederhanaan parpol, Mahfuz berpendapat, agar hal tersebut harus menjadi pertimbangan. Dia mengutarakan bahwa ide penyederhanaan parpol tak bisa mendorong Indonesia kembali ke era Orde Baru, di mana hanya terdapat tiga parpol.
“Jumlah maksimal 15 parpol seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir merupakan yang terbaik untuk mewakili berbagai aliran politik yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kalaupun ada penyederhanaan, ya penyederhanaan itu maksimal 15 parpol dan itu sudah mewakili aliran politik di Indonesia. Kalau didorong PT jadi 7 atau 8 persen, sangat mungkin hasilnya penyederhanaan bisa tinggal lima parpol,” pungkas Mahfuz
Sekadar diketahui, Komisi II DPR RI tengah menggodok tiga opsi terkait PT dalam pembahasan dalam revisi UU Pemilu. Sebanyak tiga opsi itu adalah tetap di angka 4 persen, naik menjadi 7 persen, atau ambang batas yang berjenjang. (faz/ang/rst)