Romo Antonius Benny Susetyo Rohaniawan sekaligus aktivis pendiri Setara Institute memperingatkan Bangsa Indonesia tentang fenomena politik tanpa ide atau tanpa gagasan.
Politik demikian, kata rohaniawan yang akrab disapa Romo Benny, mengadopsi teori Dramaturgi di mana panggung dipisahkan antara panggung depan dan panggung belakang.
“Motif politik itu selalu ada di panggung belakang, mencari simbol-simbol yang mudah digunakan. Di Amerika, simbol yang paling mudah dipakai adalah Migran karena ini mengancam orang-orang amerika yang mapan, Amerika Latin simbolnya kesenjangan kaya-miskin, di Indonesia yang paling kuat adalah agama, sehingga kini muncul sentimen keagamaan,” katanya di Sarasehan Kebangsaan yang digelar Gerakan Suluh Kebangsaan di Surabaya, Rabu (16/1/2019).
Komodifikasi sentimen kegamaan menjadi sentimen kebencian sedang terjadi di Indonesia akibat kemalasan elit politik dalam menggunakan politik gagasan. Mereka, kata dia, pada akhirnya menggunakan black campaign dengan cara propaganda.
“Nah, propaganda dulu di zaman Hitler tidak semasif ini. Karena waktu itu propagandanya tidak menyentuh personal. Sekarang, dengan teori tablet (gawai) ini, propaganda itu menjadi personal. Ini dikomodifikasikan sehingga muncul kebencian yang menyerang bukan hanya masif tetapi menjalin rekrut jaringan hampir di seluruh dunia,” katanya.
Dia menegaskan perlunya pemanfaatan teknologi gawai disertai daya kritis dan membaca dengan baik, tidak asal forward atau share. Bila hal itu yang terjadi, maka sentimen-sentimen kebencian yang berupaya dimunculkan akhirnya dipercaya.
“Itu yang dijadikan agenda setting. Hati-hati. Istilahnya Buya Syafii, kalau kita tidak waras, kita bisa memilih pemimpin yang tidak waras, betul itu,” katanya.
Cara mengatasinya, kata dia, yakni dengan teori Jendela Johari, yaitu dengan membangun keterbukaan dan tingkat kesadaran diri melalui dialog dan interaksi, sehingga terbangun kembali masyarakat yang guyub dan rukun.
“Dulu ada siskamling. Orang di pos hansip bisa berinteraksi, bisa ngobrol, bisa ngomong, sehingga terjadi klarifikasi. Sekarang tidak ada. Semua orang menjadi personal, semua orang menggantungkan ini (gawai,red) di kamar masing-masing,” katanya.
Tidak terjadinya interaksi antarpersonal memunculkan daerah buta. Daerah buta adalah suatu kondisi ketika orang sudah tidak mau tahu. Bila hal ini terjadi, Romo Benny menyatakan, maka kita masuk ke dalam perangkap yang disebut budaya kematian.
Kultur kematian itu terjadi ketika kita disetir secara mekanik oleh yang namanya propaganda yang disebarkan melalui gawai. Hidup guyub rukun tentrem dengan membangun interaksi di tingkat paling bawah, antar-RT, perlu dibangun kembali.
“Perbedaan Politik jangan sampai mengancam persatuan yang sejak awal dibangun nenek moyang kita, termasuk yang dibangun KH Hasyim Asyari. Karena merekalah republik ini bisa tumbuh dan besar. Pemilu tahun ini adalah masa transisi, kalau tidak hati-hati dengan komodifikasi yang bisa menghancurkan bangsa ini, maka bangsa ini tinggal runtuh. Masa depan bangsa ini ada di tangan anda semua,” ujarnya.
Kedaulatan, kata dia, dikembalikan kepada bangsa ini, apakah kita akan menggunakan kekuasaan untuk kebaikan, atau kekuasaan untuk menghancurkan bangsa ini.
Bahayanya, sentimen-sentimen seperti negara gagal, negara tanpa harapan, terjadinya perpecahan, menurut Romo Benny, menjedi suatu tanda di mana bangsa ini memasuki perangkap yang disebut negara yang seolah kehilangan harapan.
“Kalau ini terus ditanamkan kepada anak muda milenial, mereka akan Golput. Bahaya sekali. Maka mari kita mengajak generasi Milenial untuk optimistis datang ke TPS dan memilih yang terbaik,” ujarnya.(den)