Idris Laena Ketua Fraksi Partai Golkar MPR menegaskan pokok-pokok haluan negara perlu dihadirkan kembali agar menjadi pegangan presiden dalam kebijakan dan arah pembangunan nasional. Namun, untuk melakukan amendemen terbatas terkait dengan haluan negara masih perlu kajian lebih mendalam dengan melibatkan stakeholder lainnya.
“Pada prinsipnya Fraksi Partai Golkar setuju dengan garis-garis besar haluan negara, apapun namanya, yang sifatnya memberikan arah dan haluan pembangunan nasional ke depan. Tetapi mengenai amendemen terbatas, kami masih perlu mengkaji lebih mendalam,” ujar Idris dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Mungkinkah Amandemen (Terbatas) Konstitusi Terwujud?’ di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Hadir pembicara lainnya adalah Arwani Thomafi Ketua Fraksi PPP MPR dan Andi Akmal Pasludin Sekretaris Fraksi PKS MPR.
Menurut Idris, untuk melakukan amendemen UUD perlu beberapa persyaratan seperti diusulkan sepertiga anggota MPR. Dan untuk bisa disetujui, sidang paripurna MPR harus dihadiri dua pertiga dari jumlah anggota. Pengambilan keputusan untuk perubahan pasal UUD pun harus disetujui separuh lebih dari anggota MPR.
“Ini bukan perkara mudah. Apakah bisa dilaksanakan? Ini tergantung dari hasil pembicaraan dan komunikasi politik di antara partai-partai politik,” jelasnya.
Lebih jauh Idris mengatakan pihaknya ingin mendapat masukan dari seluruh stakeholder dan kelompok-kelompok masyarakat.
“Kita ingin masyarakat berpartisipasi memberi masukan soal amendemen UUD ini. Sampai saat ini kami masih mempertimbangkan soal amandemen dan ingin mendapat masukan dan mendengarkan pendapat masyarakat,” ujarnya.
Namun Idris Laena mengingatkan agar UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar agar jangan terlalu sering diubah.
“Saya hanya ingin mengingatkan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar, agar tidak sering diubah. Sebab, UUD kita bersumber pada hukum dasar. Bayangkan berapa UU yang harus disesuaikan karena perubahan UUD,” kata dia.
Idris menjelaskan, pokok-pokok haluan negara itu tidak harus dibuat oleh MPR, tetapi cukup dengan undang-undang.Undang-Undang adalah produk hukum juga karena pembentuk undang-undang adalah DPR kemudian dibahas bersama presiden sehingga berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu Arwani Thomafi mengungkapkan MPR periode 2014 ? 2019 menyebutkan dalam rekomendasinya bahwa reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN bisa dilakukan dengan dua opsi, yaitu melalui Ketetapan MPR atau Undang-Undang. Arwani mengakui secara normatif persyaratan untuk melakukan amendemen UUD tidak mudah.
Menurut Arwani, ada dua pintu agar pokok-pokok haluan negara ini terealisasi. Pertama, konsep dan substansi dari pokok-pokok haluan negara. Dalam rapat Badan Pengkajian MPR, anggota MPR menyimpulkan konsep dan substansi serta materi pokok-pokok haluan negara yang diajukan masih kurang matang.
“Malah terlalu detil. Isi dan materi pokok-pokok haluan negara belum matang. Secara substansi, bahan untuk isi pokok-pokok haluan negara belum meyakinkan bagi para anggota MPR di Badan Pengkajian,” kata Arwani.
Kedua, untuk merealisasikan haluan negara terkait atau tergantung pada konfigurasi politik. Karena persyaratan untuk amendemen yang tidak mudah maka kuncinya ada pada presiden dan partai politik.
“Kalau melihat pembentukan kabinet rekonsiliasi yang terlihat kompak maka ada peluang untuk merealisasi haluan negara. Kalau peta politik seperti pada saat pembentukan kabinet kemungkinan merealisasikan haluan negara terbuka. Tapi kalau tidak, susah melakukan amendemen meskipun dilakukan secara terbatas,” jelasnya.
Sementara, Andi Akmal Pasludin menegaskan masih terbuka kemungkinan untuk melakukan amendemen terbatas terkait dengan pokok-pokok haluan negara.
“Fraksi PKS mendukung amendemen jika dilakukan terbatas dan disetujui fraksi-fraksi lain. Tapi kita harapkan amendemen ini tidak menjadi bola liar,” tegasnya.
Menurut Andi, setiap opsi mewujudkan pokok-pokok haluan negara apakah melalui Ketetapan MPR maupun UU memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Jika dalam bentuk Ketetapan MPR maka akan melibatkan DPR dan DPD. Sedangkan bila dalam bentuk undang-undang maka hanya melibatkan DPR dan pemerintah.
“Sebenarnya penetapan haluan negara lewat UU inilah risikonya paling kecil,” pungkas dia.(faz/iss/ipg)