Fary Djemy Francis Ketua Komisi V DPR RI menilai kalau proyek infrastruktur yang sangat masif dilakukan pemerintahan saat ini merupakan upaya pencitraan yang kalap dan tidak tepat sasaran. Infrastruktur menjadi senjata ampuh bagi petahana untuk menjaga margin elektabilitas dan upaya mendulang suara.
Dia menjelaskan, dibalik proyek infrastruktur ini tersimpan banyak sekali persoalan, mulai dari perencanaan yang terkesan asal-asalan, hingga masalah kalkulasi yang merugi dan jauh dari keuntungan. Hasilnya, pembangunan justru melahirkan persoalan.
“Contohnya adalah pembangunan jalan tol Trans Jawa. Untuk rute Jakarta-Surabaya misalnya, truk yang melintas harus mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp 1,3 juta. Tak heran bila pengemudi truk tetap memilih jalur Pantura ketimbang jalan tol Trans Jawa,” ujar Fary Djemy Francis di Jakarta, Sabtu (16/2 /2019).
“Keuntungan mereka menipis. Keberadaan tol Trans Jawa yang seharusnya memangkas pengeluaran, justru malah melahirkan beban,” jelasnya.
Menyikapi persoalan ini, kata Fary, Komisi V DPR RI telah merekomendasikan beberapa hal. Diantaranya, meminta pemerintah untuk mengkaji ulang tarif jalan tol Trans Jawa, serta meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) agar tarif yang dicanangkan terjangkau oleh pengguna jalan tol.
Tidak hanya itu, Fary juga mengkritik proyek LRT Palembang yang biaya operasionalnya mencapai Rp10 miliar per bulan, tetapi pendapatannya jauh lebih rendah, yakni hanya 1,1 miliar per bulan.
Belum juga termasuk pembahasan mendalam soal membengkaknya beban utang negara karena pembangunan yang terkesan sia-sia. Wajar bila banyak pihak menyoroti kebijakan pemerintah ini.
“Bahkan, lembaga sekelas Bank Dunia pun turut melontarkan kritik tajam terkait pembangunan infrastukrur di era Jokowi,” tegasnya.
Faryini mengatakan bahwa dari 20 program yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, Jokowi tidak mampu memenuhi secara keseluruhan. Tercatat, hanya sembilan program yang tercapai, delapan program dapat tercapai dengan syarat kerja keras, sedangkan tiga program lainnya kemungkinan besar tidak tercapai.
“Jadi, untuk apa kita punya tol yang megah dan mahal bila rakyat masih kesulitan mendapat akses air bersih dan masih dihantui dengan persoalan pemukiman kumuh dan sanitasi,” terangnya.
“Percuma juga kita membangun moda transportasi modern semacam LRT, bila rakyat masih banyak yang tak memiliki tempat tinggal yang layak,” ujarnya.
Pada pemerintahan mendatang, kata Fary, paradigma pemimpin dalam membangun Bangsa harus diubah.(faz/tin/ipg)