Pemberian penghargaan Kemerdekaan Pers kepada Joko Widodo Presiden pada puncak peringatan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Surabaya, Sabtu (9/2/2019), sangat ironis. Ini seharusnya membuat insan pers merasa prihatin. Penghargaan terjadi di tengah kembali maraknya fenomena “blackout” untuk berita-berita yang dinilai bisa merugikan penguasa seperti berita Reuni Alumni 212.
Demikian ditegaskan Fadli Zon wakil ketua DPR RI dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/2/2019).
Selain itu, kata Fadli, masih hangat pemberian remisi terhadap otak pembunuhan wartawan Radar Bali yang membuat banyak orang marah.
“Penghargaan kepada Pak Jokowi itu memang pantas dikritik. Perlukah pers menjilat pada kekuasaan yang seharusnya mereka kontrol dan awasi?,” ujar Fadli bertanya-tanya.
Menurut dia, perlu disadari bahwa institusi pers bukan hanya mewakili para pekerja pers atau pemilik industri media semata, melainkan juga mewakili suara dan kepentingan publik. Pers adalah penyambung lidah publik. Itu sebabnya dalam kajian demokrasi atau ilmu politik, pers selalu mendapatkan atribut yang istimewa. Pers jangan terkooptasi oleh kepentingan pemilik modal.
“Sebagai penyambung lidah publik, tentunya jadi memprihatinkan ketika sebagian pers hari ini lebih banyak hadir sebagai brosurnya penguasa, dan bukannya sebagai ‘watch dog’ yang mengawasi jalannya pemerintahan,” jelasnya.
Ini pula yang Fadli mengira telah membuat kepercayaan publik kepada media-media mainstream kemudian cenderung melemah dan sumber informasi menjadi beralih hampir sepenuhnya kepada “jurnalisme warga” yang ada di media sosial.
Hari ini, kataFadli, ancaman terbesar terhadap kemerdekaan pers mungkin tidak berasal dari penguasa, melainkan dari sikap partisan insan pers itu sendiri. Apalagi ketika pemilik media menjadi penentu arah redaksi pemberitaan.
“Sehingga kita tidak mendapat liputan berimbang (cover both sides). Jika ini terjadi, tentu saja merupakan sebuah kerugian bagi perkembangan pers dan demokrasi kita,” tegasnya.
Itu sebabnya, Fadli menegaskan, pada peringatan Hari Pers Nasional ini, diharapkan agar pers di tanah air bisa mengingat kembali khittahnya sebagai ‘fourth estate’, alias pilar keempat demokrasi.
“Di tengah-tengah banyaknya persoalan yang membelit pilar demokrasi lainnya, kita berharap agar pers tak kehilangan fungsi sebagai alat kontrol kekuasaan. Tugas pers memang bukanlah menyanjung-nyanjung pemerintah, tapi mengawasi mereka,” pungkas dia.(faz/iss)