Mahyudin Wakil Ketua DPD RI mengakui, sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang ideal untuk negara demokrasi adalah Pemilu langsung. Tetapi menurutnya, Pemilu langsung di Indonesia berbiaya tinggi.
Mahyudin menyampaikan ini di sela-sela Refleksi Akhir Tahun DPD RI di Hotel Shangri-La, Surabaya, Minggu (22/12/2019) malam. Pemilu langsung di Indonesia, kata dia, berbiaya tinggi.
“Kita tidak menafikan, Pilkada langsung di Indonesia mengakibatkan Pemilu berbiaya tinggi, yang dampaknya pada korupsi. Itu enggak bisa dibohongi, karena memang ada biaya yang sedemikian rupa,” katanya.
Karena itulah dia berpendapat, ada beberapa alternatif yang bisa diambil pemerintah. Salah satunya, kalau Pemilu tetap dilaksanakan secara langsung, biaya kampanye ditanggung KPU sepenuhnya.
Dengan demikian, siapapun bisa nyalon tanpa mengeluarkan biaya kampanye yang menurutnya sangat mahal. Biaya kampanye itu, kata dia, tidak cukup alat peraga kampanye saja.
“Kan, cuma alat peraga (yang dibiayai). Padahal yang paling besar bukan itu. Yang paling besar mungkin di money politics-nya,” ujarnya sambil tertawa. “Itu yang harus dijaga. Harus diawasi.”
“Ya, orang yang munafik-munafik itu, dia bilang tidak. Tapi faktanya, ada aja di lapangan itu. Saya kira kita semua juga tahu soal itu,” katanya mempertegas tentang adanya praktik money politics.
Mahyudin sepakat dengan usulan Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) soal Pilkada Asimetris. Bahwa tidak semua daerah melaksanakan pilkada secara langsung.
“Daerah yang siap pilkada langsung bisa tetap langsung. Yang tidak siap, bisa lewat DPRD. Supaya biayanya lebih murah, menghindari praktik transaksional dan konflik horisontal antarmasyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah memang perlu segera melakukan kajian tentang sistem Pemilu yang sesuai. Idealnya, kata dia, negara demokrasi memang seharusnya menerapkan Pemilu langsung.
“Demokrasi yang sebenarnya memang seperti itu. Cuma, harus kita akui, itu akan efektif dan berjalan baik untuk negara maju. Dalam hal ini, maju secara ekonomi dan pendidikan,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, perlu memikirkan bagaimana Pemilu langsung bisa murah. Terhindar dari praktik transaksional, konflik horisontal antarmasyarakat, juga kampanye sara yang bisa memecah belah bangsa.
“Kalau itu bisa berjalan semua, saya kira kita tetap pada pemilu langsung. Tapi kalau kita tidak siap, saya kira pemilihan melalui DPRD atau Pemilu Asimetris perlu dipertimbangkan,” ujarnya.
Pemilu Serentak
Mahyudin juga punya pendapat tentang Pemilu Serentak di Indonesia. Menurutnya, pemerintah harus berkaca dari pelaksanaan Pemilu terakhir yang menggabungkan Pemilihan Presiden dengan DPR.
“Saya kira pemilihan legislatif tidak bisa digabung dengan eksekutif. Pelajaran kemarin, kan, pilpres dengan pileg digabung saja, korban yang mati banyak. Enggak mungkin,” ujarnya.
Kecuali, kata dia, kalau Pemilu di Indonesia sudah mulai menggunakan sistem digital, misalnya, tidak lagi mencoblos secara manual sebagaimana yang telah berlangsung selama ini.
“Mungkin dengan sistem digital pemilu serentak lebih bisa dilaksanakan. Tapi kalau masih pencoblosan, kemudian Pilkada, DPRD, Presiden, gabung semua, mati semua petugas TPS itu,” ujarnya.(den/tin/ipg)