Yandri Susanto Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI mengaku pernah menandatangani daerah otonomi baru. Otonomi baru atau daerah pemekaran harus ada Undang-undangnya, setelah sebelumnya ada penelitian, termasuk meneliti potensi ekonominya.
“Saya pernah ikut menandatangani daerah otonomi baru itu, 19 pemekaran daerah dan itu harus punya Undang-undang, diteliti dulu potensi ekonomi bagaimana, batas daerahnya bagaimana, potensi manusianya bagaimana dan pemerintah itu resmi menyampaikan ke DPR,” ujar Yandri yang juga anggota Komisi II dalam Dialektika Demokrasi di Media Cente DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Menurut Yandri, memekarkan kabupaten saja harus ada Undang-undangnya, apalagi memindahkan ibukota.
“Nah, apalagi memindahkan ibukota, ibu kota negara, orang memekarkan kabupaten saja yang penduduk hanya 100.000-200.000 itu harus pakai Undang-undang. Jadi, kenapa saya bilang kaget, karena negara ini diatur dalam Undang-undang,” jelasnya.
“Jadi Presiden itu dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi dalam regulasi, dia melakukan sesuatu, itu semuanya diatur oleh Undang-undang termasuk APBN, makanya ada laporan pertanggungjawaban APBN, ada Undang-undangnya itu, bukan sekedar laporan,” imbuhnya.
Terhadap rencana pemindahan ibukota ini, Yandri mengaku kalau DPR belum mendapatkan usulan resmi dari Pemerintah.
“Setahu saya sampai detik ini DPR belum mendapatkan usulan resmi dari pemerintah untuk memindahkan ibukota, termasuk draft Rancangan Undang Undang (RUU), belum ada sama sekali,” tegas Yandri.
Kalau hari ini, misalkan pemerintah sudah mulai menganggarkan atau menentukan tempat, menurut Yandri sebagai anggota DPR yang paham tentang bagaimana mengatur regulasi tentang bernegara, maka unsur-unsur kepatutan yang dilakukan pemerintah belum terpenuhi.
Untuk itu, kata dia, pemerintah sebaiknya segera mengajukan RUU Pemilihan Ibukota.
“Jadi menurut saya, PR terbesar atau utama pemerintah hari ini adalah segera mengajukan Rancangan Undang-Undang pemilihan ibukota, dimana, kapan targetnya, berapa luasannya, bagaimana efek sosial di sana, pengaruh lingkungannya bagaimana, itu harus ada naskah akademiknya,” jelas dia,
Menurut Yandri, pengumuman Jokowi Presiden pada tanggal 16 Agustus 2019 lalu itu, itu hanya sekadar pengumuman, belum ada implikasi hukum terhadap status ibukota negara DKI Jakarta, maupun status ibukota baru.
Yandri menegaskan, kalau sampai DPR tidak diajak bicara soal pemindahan ibukota, maka ibukota yang baru tersebut ilegal.
“Kalau sampai saatnya kita DPR ini nggak diajak bicara, maka Ibukota itu, bisa disebut Ibukota Ilegal, karena. meskipun Jokowi itu presiden, semua yang dilakukan atas perintah Undang-undang, baik itu UUD, UU turunannya, ya bisa juga dia membuat Keppres , tetapi keppres tidak boleh bertolak belakang dengan UU karena UU lebih di atas dari keppres,” tegas Yandri
Sebelumnya, Sofyan Djalil Menteri Agraria dan Tata Ruang, menyebut Ibu Kota Negara baru akan pindah ke Kalimantan Timur. Tapi lokasinya masih rahasia.
Sofyan menjelaskan sampai sekarang lokasi pasti Ibu Kota Negara baru masih belum diputuskan. Pemerintah akan mengumumkan jika sudah ada keputusan.(faz/tin/ipg)