Sabtu, 23 November 2024

Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP Masih Perlu Ditelaah Lebih Dalam

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, menilai penerapan pasal tentang pencemaran atau penghinaan terhadap Presiden selama ini sering salah pengertian.

Menurut Fickar, Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan pasal pencemaran nama baik Presiden tekanannya pada masalah jabatannya.

“Menurut catatan saya, penghinaan terhadap Presiden salah pengertian. Kalau MK itu membatalkannya tekanannya pada jabatan presiden,” ujar Fickar dalam forum legislasi di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019).

Pernyataan Fickar disampaikan menyikapi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diantaranya memasukan kembali pasal tentang pencemaran nama baik Presiden.‎

Kata dia, penghinaan, pencemaran nama baik itu ada ketentuannya sendiri. Siapapun yang merasa dihina dan dicemarkan nama baiknya, boleh melapor, karena merupakan delik aduan.

Fickar menejalskan, jabatan Presiden itu jabatan untuk dikritisi. Setiap jabatan publik itu jabatan-jabatan yang terbuka untuk dikritisi, dikomentari. Tetapi, yang tidak boleh itu kalau menyangkut pribadinya.

“Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi Presiden. Itu yang kemudian menjadi penghinaan terhadap presiden, terhadap orang yang kebetulan menjabat sebagai presiden,” tegasnya kepada Antara.

Jadi, kata Fickar, penghinaan itu tidak bisa terhadap jabatan, karena itu MK membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden atau terhadap jabatan umum, karena jabatan itu memang untuk dikritisi.

“Karena itu saya selalu bilang mestinya masuk pasal penghinaan tapi mungkin ada pemberatannya, Kalau kebetulan orang yang dihina itu menjabat sebagai Presiden maka umpamanya ada pemberatan, tetapi jangan pakai jurus penghinaan terhadap presiden,” jelas dia.

Oleh karena itu, menurut Fickar, pasal mengenai penghinaan terhadap presiden ini sebaiknya dihapuskan dan masuk kepada pasal penghinaan biasa, hanya mungkin diberi pemberatan.

“Karena itu harus hati-hati, merumuskn atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal,” pungkas Fickar.(faz/iss/ipg)‎

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs