Gerakan Suluh Kebangsaan menggelar Sarasehan Kebangsaan yang dihadiri sejumlah tokoh nasional di salah satu hotel di Surabaya, Rabu (16/1/2019). Diskusi ini membahas kesatuan NKRI di tengah potensi perpecahan akibat politik identitas.
Mahfud MD Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan mengatakan, gerakan ini diawali dari keprihatinan sejumlah tokoh tentang maraknya potensi perpecahan komponen bangsa di tahun politik 2019.
Gagasan dari gerakan ini dimulai dari diskusi antara Mahfud MD, Alissa Wahid, Beny Susetyo, dan Ajar Budi Kuncoro yang kemudian didukung oleh para tokoh senior seperti Franz Magnis Suseno, Shinta Nuriyah Wahid, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan lain-lain.
“Kami ditugaskan mengumpulkan orang-orang yang menjadi petromax (penerang/suluh) di kelompok masing-masing. Ada yang dari pendidikan ada agamawan untuk membahas persatuan bangsa,” ujarnya.
Hadir dalam Diskusi ini, Hj. Shinta Nuriyah Wahid Istri Abdurrahman Wahid Presiden Keempat RI, Prof. Dr. Katjung Marijan Guru Besar Ilmu Politik Unair, Prof. Dr. H. Abd A`la Guru Besar Uinsa, Romo Benny Susetyo, dan Prof. Dr. Syamsul Arifin Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang.
Mereka membahas persoalan-persoalan keutuhan NKRI seperti maraknya politik identitas sehingga orang atau kelompok menyerang orang atau kelompok lain, tetapi keduanya sama-sama mengklaim penjaga identitas primordial.
Juga tentang kecenderungan kontestasi untuk mencari menang dan bukan mencari yang baik. Serta radikalisme yang menumpang dan mengadu domba melalui produksi berita-berita hoaks.
Mahfud dalam sambutannya mengatakan, harga untuk agar rakyat Indonesia bisa bisa berbangsa dan bernegara ini mahal.
“Kita harus mengusir penjajah. Kita mendapat kemerdekaan bukan karena warisan dan hadiah, tapi karena bersatu,” ujarnya.
Proses panjang meraih kemerdekaan Republik Indonesia, sejak terbentuknya organisasi Boedi Oetomo pada 1908, berkumpulnya pemuda pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, sampai proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, akhirnya tercapai karena bersatunya Bangsa Indonesia.
“Tidak ada satupun di dunia, sekarang ini, hari ini, yang kemerdekaannya dengan merebut atau mengusir penjajah. Australia merdeka karena mengusir penduduk aslinya. Amerika mengusir Indian. Inggris hasil warisan. Malaysia dihadiahi Inggris. Kita, penduduk asli yang merdeka,” ujarnya.
Pada saat itu, kata Mahfud, Indonesia berhasil mempersatukan identitas primordial menjadi identitas bangsa, Bangsa Indonesia dengan apa yang disebut Soekarno Presiden Pertama sebagai Geopolitik. Pribadi yang terdiri dari agama, suku, ras, daerah, dan bahasa bersatu untuk satu tujuan, yakni kemerdekaan Indonesia.
“Kita menyadari bahwa kita hidup di wilayah dengan 17.504 pulau, 560 juta penduduk, 6 agama resmi, dan yang tidak resmi tetap dihormati, serta dengan budaya, ras, dan suku yang banyak itu. Itu sebabnya kita dulu kuat. Sementara sekarang ini, muncul politik identitas,” ujarnya.
Politik identitas, kata dia, memanfaatkan ikatan primordial seperti disebutkan ilmuwan Clifford Geertz: Agama, Suku, Ras, Kedaerahan, dan Bahasa, berpotensi memecah belah kembali bangsa yang sudah bersatu selama puluhan tahun ini.
“Karena itulah kami memandang perlu sebuah gerakan bersama untuk lebih mengedepankan dialog, menjunjung tinggi kebersamaan, dan menghargai kebhinekaan dalam bingkai NKRI,” ujar Mahfud.
Dia menambahkan, gagasan utama Gerakan Suluh Kebangsaan adalah untuk mendorong kebebasan menentukan pilihan secara demokratis tanpa bermusuhan.
“Kontestasi politik harus diartikan sebagai kepentingan bersama untuk mencari yang terbaik, bukan dilakukan sebagai zero sum game (keuntungan dari seorang pemenang didapat dari kerugian pihak yang kalah,red),” katanya. (den/wil/dwi)