Gubernur tidak perlu dipilih secara langsung oleh masyarakat, sebab wilayah kerja gubernur ada di daerah-daerah di mana yang bertanggungjawab di daerah itu adalah bupati atau wali kota. Ini sebagaimana disampaikan Profesor Kacung Marijan pengamat politik Guru Besar Unair.
Prof Kacung menyampaikan ini dalam kegiatan gelar inovasi guru besar yang berlangsung pada Kamis (15/11/2018), di Aula Amerta Kantor Manajemen Kampus C, Universitas Airlangga. Menurutnya, otonomi gubernur terbatas. Selain itu, gubernur merupakan wakil pemerintah pusat, yang memiliki jarak cukup jauh dengan pemilih.
Ada tiga stakeholder yang dia usulkan bisa memilih gubernur secara langsung. Ketiganya antara lain DPRD Provinsi, bupati/wali kota, dan wakil dari pemerintah pusat. Dengan prosentase 50 persen dari DPRD, 30 persen dari bupati/wali kota, dan 20 persen dari pemerintah pusat.
Melalui mekanisme itu, kata dia, ada beberapa keuntungan yang akan didapatkan. Pertama, akan mengurangi pos. Kedua, mengurangi tensi hubungan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota, dan secara otomatis, juga akan mengurangi tensi pemerintah daerah dengan pusat.
Di sisi lain, pemilihan presiden dan legislatif yang dilaksanakan di waktu bersamaan, menurutnya menjadi tidak efektif. Pelaksanaan yang berbarengan menyebabkan pemilihan DPRD, DPR, dan DPD, tertutup dengan isu pemilihan presiden.
Sementara itu, untuk mengatasi money politic yang masih terlalu besar terjadi, selain pengetatan soal aturan perlu pula komitmen besaran biaya kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing calon.
“Misalnya, ada kajian besaran biaya pemilih itu berapa, maksimum berapa. Dengan demikian, ada batas maksimum yang rasional yang memungkinkan untuk dicapai,” terang Kacung berdasarkan rilis yang diterima suarasurabaya.net.
“Jangan sampai masing-masing calon besar pasak dari pada tiang. Mengeluarkan biaya besar. Sedangkan take home pay ketika jadi pejabat itu kecil. Kasus korupsi dimana-mana di antaranya sumbernya dari situ,” tambahnya.
Kalau hal demikian tidak tidak diselesaikan, lanjut Prof Kacung, maka masalah korupsi akan terus terulang. Sebab akar masalah tidak diselesaikan.
Hal ini masih menjadi gagasan awal Prof Kacung soal pemilihan umum. Gagasan ini menurutnya sudah saatnya ditulis agar bisa didengar. Terlebih oleh para pembuat kebijakan dan keputusan.
Sementara itu, belum selesai dengan urusan desain kelembagaan, pemerintah juga dihadapkan pada realitas tentang revolusi industri 4.0. Sehingga mau tidak mau, revolusi industri 4.0 memiliki implikasi yang sangat luas di dalam relasi sosial. Termasuk, relasi pemimpin dengan yang dipimpin. Kacung mengatakan, proses-proses politik juga tidak lepas dari perkembangan ini.
Di satu sisi, menurut Kacung, relasi lebih sepadan antar warga, antar pemimpin dengan yang dipimpin semakin mengemuka. Informasi mengenai isu-isu politik juga mudah di akses. Namun di sisi lain, juga akan menghasilkan realitas oliagrkhi baru, yakni siapa yang menguasai data, lebih mudah untuk memainkan perilaku masyarakat.
“Disain kelembagaan baru yang disesuaikan masyarakat di era industri 4.0 penting dilakukan,” papar Prof Kacung.(tin/den)