Memasuki tahun terakhir kepemimpinan Jokowi Presiden, arah politik luar negeri Indonesia bukan semakin jelas namun justru semakin memudar. Baik itu pada pilar keamanan dan perdamaian, diplomasi ekonomi, dan juga diplomasi maritim.
Demikian poin catatan akhir tahun Fadli Zon Wakil Ketua DPR RI yang juga sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Senin (31/12/2018).
“Sepanjang 2018 ini, terdapat tiga pilar penting yang perlu mendapatkan catatan serius dalam politik luar negeri kita. Tiga pilar itu pilar keamanan dan perdamaian, diplomasi ekonomi, dan pilar diplomasi maritim. Sebagai fokus politik luar negeri Jokowi Presiden, ketiga pilar tersebut bukannya menunjukkan perkembangan progresif, namun justru menunjukkan arah semakin memudar,” ujar Fadli.
Pada pilar keamanan dan perdamaian, Fadli mencatat, di paruh pertama 2018, cukup bergembira dengan Indonesia terpilih anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Namun ironisnya, peran tersebut memudar. Terutama dalam isu pelanggaran HAM yang dialami etnis Rohingya di Myanmar dan muslim Uighur di Xinjiang, di mana tidak terdengar suara Indonesia sama sekali.
“Berdasarkan hasil investigasi UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination dan Amnesty International and Human Rights Watch, saat ini sekitar dua juta warga Uighur ditahan otoritas China di penampungan politik di Xinjiang. Banyak para tahanan yang dipenjara untuk waktu yang tak ditentukan dan tanpa dakwaan. Bahkan, penahanan tersebut tak sedikit berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian. Namun ironisnya, pemerintah kita diam, dengan pertimbangan isu muslim Uighur adalah urusan politik domestik China.,” kata dia.
Padahal,menurut Fadli, jika konsisten dengan doktrin bebas aktif sebagaimana diatur dalam UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, meskipun saat ini Indonesia sedang memiliki banyak kerja sama ekonomi dengan China, sikap pemerintah Indonesia tidak boleh terpengaruh dengan kondisi tersebut. Sebab, selain Indonesia memiliki peran alamiah sebagai negara muslim terbesar, menjaga ketertiban dunia adalah mandat konstitusi.
“Dan diamnya pemerintah Jokowi dalam isu muslim Uighur, menandakan pemerintah kita gagal memaknai modal besar yang dimiliki Indonesia,” jelasnya.
Begitu juga dalam penyikapan isu Rohingya, kata Fadli, meski ada upaya secara bilateral, namun sayangnya peran yang diambil Presiden Jokowi masih sangat normatif. Padahal Indonesia memiliki peran alami sebagai pemimpin di ASEAN, yang semestinya dapat menjadi pioner untuk mendorong permasalahan Rohingya agar disikapi secara kolektif oleh ASEAN. Namun inipun tidak terlihat. Sehingga, dari kedua isu ini, sikap politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi, seperti tidak merepresentasikan sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Menurut dia, pudarnya arah politik luar negeri saat ini juga tercermin pada pilar diplomasi ekonomi. Pemerintah bisa saja mengklaim telah aktif memasarkan Indonesia di sejumlah forum internasional. Seperti di KTT APEC, G20, ASEAN, bahkan menjadi tuan rumah perhelatan tahunan pertemuan World Bank dan IMF. Namun faktanya, perekonomian nasional semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah semakin terdepresiasi, dan neraca perdagangan semakin defisit.
“Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan total defisit perdagangan Indonesia 2018 (Januari-November) mencapai US$7,52 miliar atau setara Rp109 triliun dengan kurs Rp14.500/dolar AS. Jumlah defisit di 2018 ini berpotensi menjadi defisit yang terparah sepanjang sejarah Indonesia, melebihi defisit perdagangan 2013 sebesar US$4.1 miliar,” tegasnya.
Lebih tragisnya lagi, kata Fadli, perekonomian nasional justru ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah utang luar negeri. Berdasarkan catatan BI, di akhir Januari 2018 utang luar negeri sebesar Rp4.915 triliun. Namun pada akhir triwulan III-2018, tercatat utang luar negeri pemerintah melonjak menjadi Rp5.397 triliun (kurs Rp15.000). Jika dibandingkan 2014, utang luar negeri hanya Rp2.609 triliun, jumlah saat ini menandakan peningkatan utang pemerintah sangat pesat. Sangat lucu jika dikatakan diplomasi ekonomi kita berhasil. Yang ada, bukan diplomasi ekonomi namanya, melainkan diplomasi utang.
Fadli menjelaskan, kegagalan politik luar negeri saat ini juga terjadi pada pilar diplomasi maritim. Presiden menggaungkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak perbatasan maritim Indonesia dengan 10 negara tetangga, yang belum selesai. Bahkan masih jauh dari kata tuntas.
“Dalam janjinya di 2014, Presiden Jokowi memiliki ambisi besar untuk menuntaskan seluruh perjanjian batas maritim. Namun, hingga tahun ke-4 ini, tak ada perkembangan signifikan. Hal ini terkonfirmasi dari informasi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri. Diungkapkan bahwa hingga 2018, Indonesia baru menuntaskan 50 persen garis laut teritorial dari 545,62 mil laut, 55 persen batas ZEE dari 4797,9 mil laut, serta 70 persen batas landas kontinen dari 4407,74 mil laut. Jika kita cek ke dalam daftar treaty room Kementerian Luar Negeri, sejak 2015 hingga saat ini, tak ditemukan adanya treaty atau perjanjian baru terkait batas maritim. Sangat ironis,” kata Fadli.
Di luar tiga pilar di atas, menurut dia, memudarnya peran Indonesia di panggung global juga terlihat dari absennya Jokowi empat tahun berturut-turut dalam Sidang Majelis Umum PBB.
“Saya melihat, jargon diplomasi pro-rakyat tidak bisa dijadikan pembenaran atas sikap Presiden yang selalu absen di Sidang Majelis Umum PBB,” jelas Fadli.
“Kita tahu, forum tersebut sangat penting bagi setiap kepala negara untuk menyampaikan pandangan politik luar negerinya. Sebagai kepala negara dari bangsa yang besar, Presiden semestinya menjadikan agenda tersebut sebagai prioritas. Alasan Presiden yang kerap mengatakan forum tersebut tidak mendatangkan manfaat langsung bagi Indonesia, juga tak dapat dibenarkan. Sebab, dalam politik luar negeri Presiden adalah simbol utama, di mana ada hal-hal khusus yang hanya bisa dijalankan oleh Presiden. Tahun ini, Presiden Joko Widodo menurut saya kembali gagal memaknai peran besar Indonesia di panggung internasional,”ujarnya.
Dia mengatakan, dalam banyak teori foreign policy, salah satunya dikenal faktor idiosinkratik. Yaitu sistem nilai, latar belakang, dan keyakinan pemimpin yang turut mempengaruhi postur politik luar negeri suatu negara. Sehingga, ibarat kapal yang sedang berlayar, faktor nakhoda itu penting. Meskipun sudah tersedia kompas yang lengkap, namun nahkodanya lemah, maka arah kapal bisa menjadi tidak jelas. Targetnya menjadi tidak tercapai. Itulah yang menurut saya terjadi dalam politik luar negeri kita tahun ini.(faz/dim/rst)